Rabu, 10 Agustus 2016

Memulai Sambil Belajar



Tanpa pengetahuan dan pengalaman, Raymond berhasil mengembangkan bisnis toko elektronik yang digelutinya, bahkan meraup omzet miliaran rupiah setiap bulan. 

Sribu.com

Ada peribahasa yang mengatakan, “Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri”. Nilai yang terkandung dari pepatah ini adalah sebaik-baik negeri orang, tidak sebaik di negeri sendiri. Ini pula yang dirasakan Raymond Siswara Wong, Pendiri Arjuna Elektronik, ketika memutuskan kembali dari luar negeri dan memulai usaha di sini. 

Raymond menyeberang ke Australia pada usia 16 untuk menimba ilmu di University of Melbourne. Sukses merampungkan studi di bidang computer science dalam kurun waktu 3,5 tahun, kemudian ia pindah ke Sydney untuk bekerja di salah satu perusahaan periklanan. Namun, itu tak bertahan lama. Setelah dua tahun bekerja, ia memutuskan untuk pulang ke Indonesia pada tahun 2011. 

“Walau secara pekerjaan dan jenjang karier di Australia cukup baik, hati saya terpanggil untuk kembali ke Indonesia. Bagi saya kehidupan di sini jauh lebih enak dibanding di Australia, apalagi keluarga besar berada di sini,” jelas Raymond akan alasan kepulangannya. 

Diakui Raymond, dirinya memang sempat bingung ketika akan pulang kampung ke Indonesia, lantaran tidak tahu mau berbisnis apa. Bak gayung bersambut, di saat yang bersamaan FIF—perusahaan pembiayaan yang awalnya fokus membiayai sepeda motor—tengah masuk ke ceruk baru untuk membiayai produk-produk elektronik dengan merek Spektra.

“Bisnis orang tua di bidang dealer motor dan telah bekerja sama dengan FIF. Bila sebelumnya hanya pembiayaan sepeda motor, FIF menawarkan pembiayaan kredit elektronik. Mendengar peluang tersebut, saya langsung mengajukan pengunduran diri dari tempat bekerja. Satu bulan kemudian saya pulang ke Indonesia untuk membuka toko kredit elektronik,” tuturnya. 

Masuk ke bisnis elektronik diakui Raymond memang tanpa pengalaman sama sekali. Alhasil, ia harus mempelajari pasarnya, baik dari sisi perilaku konsumen elektronik, dan mencari pemasok produk elektronik. Setelah dipelajari, ternyata belum banyak pemain di pembiayaan elektronik yang menyasar ke segmen menengah-bawah. “Intinya mulai dulu sambil belajar,” tambahnya. 

Sebagai pemain baru di bisnis elektronik, Raymond sadar bahwa sulit untuk bersaing langsung dengan pemain yang telah eksis. Jadi, ia memposisikan usahanya sebagai toko elektronik yang konsentrasi di kredit. Meski kala itu, konsumen belum tahu bila pembelian produk elektronik bisa dicicil.

Memakai merek Raja Elektronik, Raymond memulai usahanya dengan menumpang di dealer motor sang ayah, sambil membuka tenda pameran di depan dealer, pom bensin, dan pusat belanja. Modal awalnya mencapai Rp1 miliar, dan kemudian seiring berjalannya waktu, modal ditambah lagi.

“Kami menggunakan merek Raja Elektronik hanya selama tiga bulan. Rupanya merek tersebut sudah digunakan salah satu distributor elektronik besar. Akhirnya diganti menjadi Arjuna Elektronik. Dalam pewayangan, Arjuna dikenal sebagai tokoh yang gagah, perkasa, dan impian banyak wanita. Harapannya, bisnis Arjuna Elektronik menjadi besar dan disukai pelanggan,” beber Raymond. 

Dipercaya Pemasok dan Leasing
Kendati konsumen belum teredukasi secara baik, Arjuna Elektronik tidak mengalami kendala yang signifikan dalam pemasaran karena konsumen sudah mulai familier akan sistem kredit, khususnya sepeda motor. Apalagi animo di masyarakat mengenai pembelian dengan cara angsuran sangat tinggi.

“Di bulan pertama respons dari konsumen cukup bagus. Banyak aplikasi yang masuk ke Arjuna Elektronik. Namun karena Spektra juga masih baru, banyak aplikasi yang tidak terproses. Apalagi sebelumnya dealer-dealer elektronik FIF tidak berkonsentrasi pada penjualan kredit, tetapi lebih pada penjualan tunai,” jelas dia. 

Roda bisnis Arjuna Elektronik yang bergulir cepat membuat Raymond kian optimistis. Hanya dalam hitungan bulan, toko kredit elektroniknya mulai berkembang. Bila saat memulai bisnis pada Juli 2011 ia masih nebeng dealer sang ayah, di akhir tahun 2011 Raymond sudah memiliki toko sendiri berlantai empat. 

Empat bulan kemudian, di tahun 2012, Arjuna Elektronik sudah memiliki showroom pertama Ruko Taman Palem Lestari, Cengkareng, Jakarta Barat. Bahkan sampai akhir tahun 2012 sudah ada 12 titik pameran. Setahun kemudian, Raymond melebarkan sayap ke Karawaci, Tangerang, dengan membuka showroom kedua. “Produk yang pertama kali dipasarkan meliputi TV, kulkas, mesin cuci, dan AC,” ujar dia. 

Dalam perjalanannya jumlah kategori produk juga bertambah, meliputi laptop, handphone, kamera, audio system, dan peralatan rumah tangga. Awalnya produk elektronik didapat dari toko eceran dan grosir. Kemudian pada tahun 2012, ATPM produk LG masuk karena percaya dengan konsep toko Arjuna Elektronik. 

“Setelah produk LG masuk di toko kami, satu per satu ATPM elektronik lain berdatangan menawarkan produknya. Dulu kami yang cari, sekarang mereka yang datang. Saat ini kami telah bermitra dengan 11 ATPM, meliputi LG, Polytron, Sharp, Samsung, Daikin, Asus, Acer, dan lainnya,” ungkap Raymond. 

Sekarang, selain dipercaya kalangan pemasok elektronik, Arjuna Elektronik juga sudah dipercaya sejumlah perusahaan leasing seperti FIF, Kredit Plus, Aeon, dan Home Credit.

Garap Pasar Online dan Tunai
Kondisi pasar yang lesu juga berdampak terhadap perkembangan bisnis Arjuna Elektronik. Pada tahun 2015, Raymond mulai mengubah strategi pemasarannya dengan mengurangi jumlah toko dari belasan menjadi tiga toko. Di samping itu ia juga memanfaatkan era digital melalui toko online www.arjunaelektronik.com yang telah dikembangkan sejak tahun 2012. 

“Pengguna Arjunaelektronik.com diperkirakan mencapai 100 ribu. Sementara pengunjungnya bisa mencapai sekitar 8.000 per hari, dan dalam sehari ada sekitar 200 e-mail yang tertarik untuk mengajukan kredit,” sebut dia. 

Selain masuk ke pasar online, Raymond juga mengubah model bisnis yang tadinya hanya merupakan toko elektronik yang melayani penjualan kredit, menjadi toko elektronik yang melayani pembelian kredit dan tunai. Hal itu dilakukan mengingat pasar kredit elektronik tidak sampai 5%. 

“Untuk berkembang, perusahaan harus berevolusi. Jadi, tidak ada salahnya masuk ke pasar tunai juga. Pembelian ini diterapkan di toko online Arjuna Elektronik dan marketplace, seperti Lazada, Elevania, Blibli, Bukalapak, Tokopedia, Bhinneka,” imbuhnya. 

Saat ini kontribusi penjualan Arjuna Elektronik sebanyak 90% berasal dari online. Dari total tersebut, penjualan toko online dan marketplace berimbang sebesar 50:50. (Moh. Agus Mahribi, telah dimuat di Majalah MARKETING Edisi Mei 2016)

Usung Konten Tekstil Lokal

Berawal dari keinginan membuat busana untuk sang buah hati agar terlihat keren namun tetap berkonsep muslim. Kini Herlina mampu meraup omzet puluhan juta rupiah dari bisnis busana muslim kasual anak. 

Ide bisnis bisa datang dari mana saja dan kapan saja. Tidak menutupi kemungkinan hal-hal yang tak pernah terpikirkan oleh sebagian orang pada umumnya. Tengok saja pengalaman Herlina Trisnaningsih yang masuk ke bisnis pakaian muslim anak lantaran memiliki pengalaman kesulitan menemukan baju muslim kasual yang cocok, nyaman, unik, dan kekinian untuk sang buah hati. 

Berangkat dari pengalaman tersebut, Herlina mulai mendesain berbagai jenis baju muslim yang lebih kasual, tidak sekadar bisa dipakai saat mengaji, tetapi dapat dikenakan untuk segala acara. Tak hanya itu, ia pun berhasil membuat terobosan dengan mengubah model busana muslim anak yang kaku menjadi lebih trendi, dengan mengaplikasikan berbagai jenis kain tradisional seperti batik, tenun, maupun songket.

Sebelum menggeluti bisnis pakaian muslim anak, Herlina menceritakan sebenarnya ia sudah menjalankan usaha jual baju sisa ekspor secara online. Namun, keterbatasan stok dan ukuran membuatnya kesulitan memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Dari situ timbul ide untuk memproduksi dan memasarkan baju anak dan aksesori busana anak dengan merek Little Zee.

“Saya masuk ke bisnis pakaian anak karena ingin memiliki usaha yang sesuai dengan passion. Tidak terikat waktu, bisa sambil mengurus rumah tangga dan anak, sekaligus mandiri dan bisa bermanfaat untuk banyak orang. Target bisa mengembangkan usaha dengan memiliki distributor dan reseller di seluruh Indonesia,” kata Herlina. 

Pemilihan nama “Little Zee” sebagai merek disebut perempuan yang akrab disapa Erlin ini, karena mengandung filosofi bahwa memulai usaha dari yang kecil dan dari belakang (Z huruf paling akhir). Dengan harapan sembari belajar bisa menjadi besar dan memimpin di bisnis busana muslim anak di masa mendatang. 

Produksi pertama Little Zee berupa baju gamis set jilbab dengan aplikasi kain perca buatan tangan (handmade), ditambah tali-tali dari bahan katun. Produk perdana tersebut mampu menarik konsumen, khususnya para ibu. Yang menarik, koleksi busana muslim kasual Erlin tak hanya diminati konsumen dalam negeri, konsumen dari negeri tetangga pun turut kepincut. 

Menurut Erlin, produk Little Zee cukup diminati konsumen karena modelnya yang unik dan menarik. Apalagi ia sendiri telah memiliki pangsa pasar yang telah terbentuk dari hasil usaha baju anak sisa ekspor, yang tersebar di beberapa wilayah. “Little Zee menyediakan busana muslim anak dari usia 1─12 tahun,” sebut dia. 

Seiring berjalannya waktu, koleksi pakaian anak Little Zee terus bertambah. Beragam baju kasual anak yang ditawarkan mulai dari celana, rok, baju atasan, outer, mini dress, long dress, gaun pesta, bahkan kebaya dan rok etnik, yang jika dipadu padankan tetap bisa untuk tampilan kasual muslim. Untuk ide desainnya, Little Zee mengikuti ramalan tren dari asosiasi desainer. Namun, tetap disesuaikan dengan keinginan pasar terkini. 

“Soal tren model, Little Zee lebih fokus pada kenyamanan, kesederhanaan, dan keunikan desain. Setiap bulan ada produk baru sekitar lima item. Bila ada kegiatan besar di toko seperti tahun baru, imlek dan hari raya, termasuk kegiatan pameran, akan dikeluarkan lebih banyak desain baru,” terangnya. 

Promosi dan Pemasaran
Dalam membangun merek Little Zee supaya dikenal konsumen, di awal usaha, Erlin memanfaatkan media online, yakni website dan Facebook. Cara ini dianggap efektif karena tidak memerlukan biaya besar, namun memiliki dampak yang cukup signifikan. Terbukti di bulan pertama berhasil terjual 50 set baju muslim untuk konsumen dari Singapura, melalui Alibaba.com.

Sukses di ranah online, baju muslim buatan Erlin dilirik oleh retail modern terkemuka. Saat ini produk Little Zee dapat ditemukan di department store seperti Metro dan Sogo, de Moss—toko busana muslim besar di Bandung, hingga butik Adrevi di Makassar. “Kami membidik konsumen menengah ke atas dengan harga baju muslim kisaran harga Rp150.000–Rp650.000 per piece,” ungkap Erlin. 

Dalam sebulan dia mengaku dapat menjual setidaknya 250 pieces dan meraup omzet sekitar Rp50 juta dengan pembeli yang berasal dari kota-kota besar di Indonesia, seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Bali, Semarang, Batam, Medan, Aceh, Riau, Banjarmasin, dan Makassar. 

“Permintaan terbanyak biasanya terjadi jelang Lebaran dan akhir tahun dengan peningkatan 4─5 kali lipat. Kontribusi penjualan offline sebesar 75%, sedangkan online melalui website dan media sosial mencapai 25%,” kata penghobi olahraga renang tersebut. 

Menyoal target pengembangan bisnis, Erlin ingin terus menambah model dan varian produk Little Zee, misalnya tas, sepatu, dan aksesori anak. Selain itu, dirinya menargetkan akan membuka lebih banyak counter di jaringan Metro dan Sogo department store supaya merek Little Zee lebih kuat dan dikenal masyarakat luas. (Moh. Agus Mahribi, telah dimuat di Majalah MARKETING Edisi Juli 2016)