Rabu, 27 November 2013

Kian Bersinar Bersama Bintang Iklan

3Second menyadari pentingnya peran endorser dalam meningkatkan ekuitas merek. Tak tanggung-tanggung, beberapa musisi papan atas telah dipilih. Siapa saja mereka dan bagaimana hasilnya?

Selebriti masih menjadi penggerak utama dalam melambungkan merek suatu produk. Cermati saja Ariel Noah, apa pun yang dipakai pria ini pastilah booming. Alhasil, banyak pemilik merek mencoba merangkul publik figur ini.

3Second mungkin menjadi salah satu merek yang beruntung menggunakan jasa pemilik nama lengkap Nazril Irham ini sebagai bintang iklan (endorser) sekaligus duta merek (brand ambassador) untuk salah satu mereknya, yakni Greenlight.

Bukan tanpa perjudian 3Second memilih Ariel sebagai endorser. Pasalnya, selain memiliki karya yang fenomenal, Ariel pun memiliki sisi lain kehidupan yang sempat menjadi highlight di berbagai media dan menimbulkan kontroversi. Hal inilah yang memosisikan sosok Ariel seperti pedang bermata dua; dapat menjadi brand equity builder ataupun brand equity killer.

“Ariel yang sempat vakum di blantika musik Tanah Air membuat kerinduan tersendiri bagi para penggemarnya. Di sinilah kami melihat popularitasnya belum menurun, apalagi Ariel memiliki kredibilitas dan daya tarik tersendiri. Gaya dia yang cool dan misterius menancapkan banyak kesan pada penggemarnya. Ini sesuai kriteria yang kami inginkan. Tantangannya meski sang endorser dinilai negatif oleh sebagian orang, merek kami harus tumbuh positif,” kata Hendri Sase, Head of Marketing 3Second.

Bentuk kerja sama yang dilakukan dengan Ariel bukan hanya dari nilai bisnis, tetapi lebih pada pendekatan personal kepada sang selebriti untuk mendapatkan pengalaman dan kenyamanan dalam menggunakan produk. Selain kenyamanan, kemudahan juga diberikan 3Second dengan banyaknya gerai penjualan di hampir setiap kota besar di Indonesia. Ini membantu sang selebriti akan suplai produk dalam mendukung performa ketika konser, termasuk menyediakan desain khusus buat mereka.

Perjudian besar yang dilakukan berbuah manis. Sejak di-endorse Ariel, pertumbuhan merek Greenlight bergerak pesat, baik dari sisi image maupun awareness. Yang terpenting tingkat kepercayaan konsumen semakin tinggi dan pada akhirnya berujung pada peningkatan penjualan. “Setelah menggandeng Ariel pada Juni 2012 lalu, penjualan merek Greenlight bertumbuh sekitar 25% dibanding periode sebelumnya,” ungkap Hendri.

Belajar dari kesuksesan inilah 3Second kembali mencomot musisi papan atas lainnya, yakni Narova Morina Sinaga, atau yang lebih dikenal publik sebagai Momo Geisha, untuk merek 3Second Ladies3Second merupakan produk uni sex. Sedangkan endorser pria dipilih Raffi Ahmad, presenter kondang yang natural dan atraktif. Tak hanya selebriti lokal, musisi asing asal Inggris, We Start Partys, pun berhasil digaet untuk membantu pemasaran.

Sebenarnya popularitas 3Second cukup kuat di kategori fashion pria, namun di kategori produk wanita masih kedodoran. “Penunjukan Momo Geisha sangatlah tepat karena dekat dengan kehidupan remaja, terutama kaum hawa. Untuk endorser asing, strategi ini merupakan pembuktian bahwa produk dalam negeri mulai diminati oleh band asing ataupun konsumen mancanegara,” jelas dia.

Selain Greenlight dan 3Second, masih ada merek lain yang menjadi andalan produsen pakaian asal Bandung ini, seperti Famo, yang karib dengan gaya Uki Noah, baik di atas panggung ataupun di luar panggung. Satu lagi Moutley, pakaian yang desainnya mengacu pada budaya jalanan (street culture) yang digemari pencinta skateboard dan musik indie rock. Pemilihan endorser-nya pun disesuaikan dengan segmen pasar, yaitu Rosemary band yang mengusung genre indie punk. Adanya para endorser ini diharapkan dapat berkontribusi besar terhadap pertumbuhan perusahaan yang ditargetkan sebesar 30% per tahun.

Tak hanya terikat kerja sama dalam menggunakan produk atau pembuatan iklan, para endorser berkewajiban menjadi bagian dari perusahaan dengan mempromosikan merek-merek 3Second di media sosial ataupun website mereka, serta melakukan kunjungan ke gerai-gerai. “Dalam setahun para endorser melakukan kunjungan ke gerai sebanyak enam kali. Baik peresmian gerai baru maupun jumpa fans di sana,” ujar Hendri.

Keberhasilan membangun merek tak hanya bergantung pada endorser. Dibutuhkan pula kualitas produk dan jaringan pemasaran yang mumpuni. Apalagi para selebriti membuat merek semakin dikenal luas. Antisipasi telah dilakukan 3Second dengan mempersiapkan titik pemasaran yang tersebar di berbagai kota, terdiri dari 80 showroom, 20 street shop, dan 150 counter. Kemudian, sejak tahun 2007 telah dipersiapkan website korporat www.3second-clothing.com yang tahun lalu telah bertransformasi menjadi kanal pemasaran online dengan omzet sekitar Rp200 juta per bulan.

Produk yang ditawarkan sangat beragam, mulai dari kaos, celana, jaket, sepatu, tas, sandal, dan sebagainya, dengan jumlah rata-rata desain sekitar 240 varian  per bulan. Dan 3Second mampu memproduksi sekitar 2 juta potong per tahun. “Ide desainnya didapat dari tim desain yang melakukan perjalanan ke luar negeri untuk mencari tren fashion di sana. Setelah terkumpul, ide-ide tersebut akan diadopsi sesuai pasar Indonesia. Komposisi produknya 60% untuk pria dan 40% untuk wanita, sedangkan penjualan masih didominasi oleh produk pria sekitar 70%,” ungkap Hendri.

Soal promosi, pada setiap konser Noah dan Geisha dibagikan brosur yang bisa ditukarkan dengan diskon di stan 3Second. Selain berpromosi, 3Second juga merangkul komunitas untuk lebih mendekatkan diri dengan mengadakan kegiatan-kegiatan, seperti kompetisi skateboard dan musik. Kegiatan yang sedang berjalan saat ini adalah kompetisi menyanyi mirip Ariel dan Momo Geisha yang rencananya akan digelar di enam kota besar. Tahap awal audisi dan penyisihan dilakukan di Kota Bandung. Khusus grand final, Ariel dan Momo Geisha akan menjadi juri.  

Pemenang di setiap kota berhak mendapatkan uang tunai, makan malam, dan jalan-jalan bersama si artis. “Setiap peserta diwajibkan menyanyikan lagu dari kedua musisi tersebut. Kami juga sedang mempersiapkan hadiah spektakuler, mungkin pemenang utama berkesempatan berkolaborasi dengan Ariel lewat lagu ciptaannya. Tujuannya supaya sosok Ariel yang fenomenal identik dengan merek Greenlight,” sebut Hendri.(Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi)

Terbang ke Luar Negeri dengan Replika Pesawat

Marison mampu menciptakan karya yang memesona para pencinta replika pesawat. Bahkan produknya telah diburu oleh konsumen mancanegara. Bukan hanya itu, hasil karyanya menjadi “tambang emas” dan membawanya berkesempatan mengunjungi berbagai negara.


www.108jakarta.com 

Berawal dari sekadar hobi terkadang melatarbelakangi kesuksesan seseorang dalam membangun bisnis. Apalagi hobi yang digeluti bisa menghasilkan sebuah produk atau barang yang mempunyai nilai jual tinggi, terlebih tidak semua orang bisa melakukan karena dibutuhkan ide brilian dan kreativitas di dalam proses produksinya. Kisah itu pun terjadi pada Marison yang meraup ratusan juta rupiah dari hobi membuat replika pesawat terbang. 

Inspirasi membuat replika pesawat memang sudah tertanam di benak Marison sejak kecil. Kegemaran mengamati “si burung besi” yang melintas di Bandara Halim Perdana Kusuma dekat rumah tinggalnya diimplementasikan dengan membuat replika pesawat dari kayu bekas gagang sapu. “Ide dan model replika pesawat yang dibuat berasal dari mengamati pesawat yang melintas. Replika pesawat yang dihasilkan akan dipakai bermain sendiri atau dijual ke teman sekolah,” kenang Marison. 

Kecintaan dan rasa ingin tahu mengenai pesawat terbang, khususnya replika pesawat, terus terbawa hingga dewasa. Guna mengasah kemampuan dan keterampilannya, Marison bergabung dengan sebuah perusahaan replika pesawat. Di situlah dia mendapat informasi tentang jenis bahan dan ukuran, serta cara membuat dan merakit replika pesawat, sekaligus mempelajari potensi pasarnya, baik jenis replika pesawat komersial, pesawat tempur, helikopter, sampai pesawat ruang angkasa.

Setelah memiliki pengetahuan dan bekal yang cukup, akhirnya Marison memutuskan terjun langsung ke bisnis replikasi pesawat bersama dua rekan kerjanya sesama penghobi, pada tahun 1992. Namun, krisis ekonomi—tepatnya pada tahun 1999—membuat Marison harus melenggang sendiri lantaran kedua rekannya memilih untuk fokus di bidang lain. Apalagi di saat krisis ekonomi, usahanya tidak mendapatkan pesanan dan tidak melakukan penjualan selama enam bulan.

Tak patah arang, Marison pun terus bertahan dan berkarya membesarkan Anglo Indonesia Aircraft Models, merek replika pesawat yang diusungnya. Berkat ketekunan dan kerja keras serta bantuan dari istrinya, Nurhayati, kini usaha Marison berbuah hasil. Produk replika pesawatnya sudah diminati banyak konsumen. Tak hanya dipasarkan di dalam negeri, produk-produk Anglo sudah merambah ke pasar mancanegara, seperti Hong Kong, Jepang Filipina, Dubai, Australia, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. 

Mengamati replika pesawat Anglo, mungkin kebanyakan orang sepakat bahwa untuk membuat replika pesawat dibutuhkan keterampilan dan kreativitas yang tinggi hingga mempunyai nilai seni tersendiri. Betapa tidak, selain tingkat kesulitan cukup tinggi, diperlukan juga ketekunan dan kesabaran. “Semua konsep sudah matang di kepala, namun dalam realisasinya tak mudah karena membutuhkan pekerja (perajin) yang memiliki selera dan nilai seni yang tinggi. Bisnis replika pesawat itu unik, pengerjaannya harus mengikuti keinginan hati untuk menciptakan kepuasan dari hasil kerja sendiri, tetapi menyesuaikan minat konsumen,” ujar Marison. 

Berbicara soal target pasar, Nurhayati mengatakan bahwa peminat replika pesawat bukan hanya pengoleksi individu. Malahan porsi terbesar berasal dari maskapai penerbangan yang sering memanfaatkannya untuk suvenir atau pajangan. Alhasil, segmen yang fokus dibidik Anglo adalah pasar korporat (B2B), khususnya maskapai asing. Apalagi penjualan saat ini masih didominasi oleh pasar luar negeri dengan komposisi sebesar 70% dan pasar lokal sebesar 30%. “Untuk pasar global, kami belum menggunakan merek sendiri dan masih menggandeng agen atau broker di negara terkait,” imbuh dia.

Bukan tanpa alasan Anglo lebih menyasar pasar global. Ini lantaran harga produk replika pesawat yang dihasilkan terbilang tinggi, sehingga tidak cocok dengan pasar dalam negeri. Wajar bila ini terjadi, karena proses produksi yang dilakukan hampir 100% menggunakan tangan secara manual (hand made) yang notabene memiliki tingkat kesulitan tinggi. Selain itu, dibutuhkan ketelitian serta proses produksi panjang guna menghasilkan replika pesawat yang berkualitas. 

“Maskapai lokal cenderung memilih replika pesawat hasil pabrikan luar negeri seperti Cina yang proses hand made-nya hanya sekitar 10%, sekaligus memiliki harga lebih murah. Berbeda dengan maskapai asing yang lebih menyukai produk hand made. Etihad Airlines pernah mengundang kami terbang ke Abu Dhabi untuk melihat langsung replika pesawat Anglo. Meski harga 3–4 kali dari replika pesawat asal Cina, Etihad lebih percaya untuk bekerja sama dengan Anglo,” terang Marison.

Normalnya, ukuran replika pesawat yang ditawarkan Anglo mulai dari 15 cm sampai 16 m dengan harga untuk pasar lokal mulai dari Rp100.000 per unit, sedangkan untuk pasar ekspor harga minimum dipatok sebesar Rp400.000 per unit. Harga untuk pemesanan khusus bisa mencapai sekitar Rp200 juta, bahkan saat ini Anglo sedang mengikuti tender pengadaan untuk sebuah maskapai asing seharga Rp800 juta per unit dengan nilai proyek di atas Rp2 miliar.

Mengenai agresivitas pemasaran, Nurhayati mengakui pihaknya sejauh ini lebih banyak menerima pesanan ketimbang melakukan pemasaran secara langsung. Hal ini terjadi karena keterbatasan kapasitas produksi, sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan konsumen. “Penjualan Anglo masih berkisaran 60–70 unit per bulan dengan total nominal rata-rata mencapai Rp150 juta. Permintaan saat ini saja belum bisa terpenuhi semua, apalagi untuk setiap pemesanan, rata-rata konsumen harus inden selama enam bulan,” papar Nurhayati. 

Lantaran tidak terlalu agresif, strategi promosi yang dilakukan Anglo hanya terfokus di ranah BTL dengan mengikuti kegiatan yang sesuai dengan target segmen pasarnya, seperti pameran Inacraft. Tentu kegiatan tersebut bertujuan meningkatkan kesadaran merek Anglo di bisnis replika pesawat. (Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi)

“Kaldu Ayam” yang Diminati Pencinta Fashion Sampai Selebriti


Merek Brodo, sepintas seperti nama sebuah merek asal Italia. Tapi, siapa sangka nama yang disematkan pada produk sepatu pria ini merupakan merek lokal yang dibuat di Cibadayut. Kini penjualannya rata-rata mencapai 2.000 pasang sepatu setiap bulan. Bagaimana kisah sukses membangun merek Brodo?



Sering kali kita temukan entrepreneur yang sukses membangun bisnis dari hobi. Begitu pula dengan Muhammad Yukka Harlanda yang gemar mengoleksi sepatu. Pengalaman kesulitan mendapatkan sepatu kulit ukuran yang diinginkan, belum lagi harga yang relatif mahal, memberinya ide untuk membuat sepatu sendiri.

Tak berhenti di situ, bak oasis di tengah sahara, pengalaman tersebut menginspirasi Yukka untuk mengembangkan kreativitasnya menjadi bisnis sepatu khusus kaum adam. Bermodal sebesar Rp7 juta hasil patungan bersama rekan bisnisnya Putera Dwi Karunia, mereka menyambangi perajin sepatu di Cibaduyut, Bandung, yang terkenal sebagai sentra sepatu murah.

“Kami memulai bisnis sepatu sejak tahun 2010 lalu. Pemikirannya sederhana, kalau membuat sepatu dengan desain dan merek sendiri, kemungkinannya dapat dijual dengan harga yang lebih terjangkau,” kata pria yang saat memulai bisnis masih kuliah di Institut Teknologi Bandung, jurusan Teknik Sipil.

Dari modal tersebut, diperoleh 40 pasang sepatu dengan empat desain yang referensinya didapat dari internet. Kemudian, produk mulai dipasarkan kepada orang-orang terdekat, mulai dari teman, sanak saudara, bahkan orangtua sendiri, dengan merek dagang Brodo. Meski sebenarnya penyematan merek sama sekali tidak ada kaitannya dengan produk yang dihasilkan.

“Pemberian nama Brodo terbilang konyol, karena idenya diambil dari adegan memasak sebuah komik. Kata ‘brodo’ yang dalam bahasa Italia berarti kaldu ayam, merupakan bumbu dasar dari beberapa masakan Italia. Prinsipnya, jika brodo-nya tidak enak, makanan yang dihasilkan pun tidak enak. Begitu juga dengan sepatu Brodo, bila berbusana sepatunya tidak bagus, maka ke atasnya tidak bagus pula,” terang Yukka.

Seperti kebanyakan cerita sukses lainnya, Brodo tidak langsung mudah diterima konsumen. Yukka masih sangat ingat ketika mereknya sulit terjual, bahkan di bulan pertama saja hanya terjual empat pasang. Namun, ketika mencoba menawarkan desain sepatu tersebut melalui jejaring sosial, hasilnya ternyata di luar dugaan. Banyak konsumen yang tertarik dan memesan sepatu ini.

“Sepatu Brodo dibanderol dengan harga Rp195.000 sampai Rp595.000. Segmen yang dibidik Brodo di rentang usia yang cukup lebar, antara 18–40 tahun dari kalangan kelas menengah yang menyukai produk-produk berkualitas guna memenuhi gaya hidup dan fashion mereka,” ungkap Yukka.

Fokus di Online 
Ketika memulai bisnis, Yukka melakukan segala aktivitas pemasaran baik offline maupun online untuk meningkatkan brand awareness Brodo. Namun, seiring berjalannya waktu ia pun memilih untuk fokus di ranah online. “Tahap awal memasarkan, kami berupaya memasukkan produk-produk Brodo ke seluruh distro di Indonesia, maupun department store untuk menggenjot brand awareness dengan mempromosikan ke pemilik distro ataupun mengikuti kegiatan pameran di kota-kota besar di Indonesia,” papar dia.

Sayang, meski akhirnya Brodo sukses memajang produk-produk tersebut di gerai distro dan department store, hasilnya tidak memuaskan seperti yang diharapkan. Hal ini lantaran pertumbuhan penjualannya tidak signifikan dibandingkan penjualan online melalui website dan Facebook. Secara jumlah penjualan offline memang lebih tinggi dibandingkan online; sebaliknya dari segi profit, pemasaran online masih jauh lebih bagus ketimbang pemasaran offline.

“Saat ini pemasaran online berkontribusi besar sekitar 90% dari total penjualan. Konsumen dapat membeli setiap produk Brodo di www.bro.do yang domainnya dibeli dari Republik Dominika, sedangkan untuk media sosial konsumen dapat mengunjungi Facebook: brodobrodo,” sebut Yukka.

Pertimbangan lain untuk fokus ke online, karena melihat produk-produk Brodo sudah mulai ditiru, mulai dari desain sampai merek. Untuk memudahkan konsumen membedakan produk yang asli dan palsu, Brodo hanya menjual di toko online dan gerainya sendiri. “Di sini kami lebih mengeksklusifkan distribusi pemasarannya. Rata-rata penjualan Brodo mencapai 2.000 pasang per bulan,” tambah dia.

Kinclong-nya penjualan Brodo memang tak terlepas dari dua prinsip yang diusung selama ini. Pertama, great design, yaitu setiap desain sepatu yang dihasilkan harus terkesan simpel dan unik, sekaligus terjangkau dengan kualitas dan detail yang menarik. Jumlah sepatu yang ditawarkan sudah beragam jenisnya seperti Signore, Vintage, Fontana, Uno, dan Alpha dengan outsole yang menarik berupa motif nusantara ataupun batik parang.

Kemudian, kedua, great service dengan memberikan layanan yang mampu menjamin kepuasan konsumen. Tak banyak pelaku bisnis online yang berani seperti Brodo memberikan layanan penukaran sepatu secara gratis jika ukuran tidak sesuai, walaupun sudah dipakai. Layanan lainnya, Brodo memiliki layanan servis jika sepatu rusak.

Sandhy Sondoro dan Glenn Fredly Ikut Memasarkan
Celebrity endorser dipandang memiliki keunggulan atraktif yang membedakannya dari individu lain dan mampu memengaruhi konsumen untuk menggunakan produk yang dipakainya, dan identik dengan merek itu sendiri. Ini pula yang dilakukan Yukka. Tanpa pengetahuan mengenai aturan brand endorser, dengan percaya diri ia mencoba merangkul musisi papan atas, Sandhy Sondoro dan Glenn Fredly untuk turut memasarkan produknya.

“Kerja samanya sederhana, tanpa kontrak eksklusif. Artinya selama Sandhy Sondoro mau menggunakan produk-produk Brodo, kita akan memberikan kepadanya. Ketika melihat Sandhy Sondoro menggunakan sepatu Brodo,  siapa sangka, ternyata Glenn Fredly pun tertarik menggunakan sepatu ini,” jelas dia.

Soal aktivitas pemasaran yang akan dilakukan dalam waktu terdekat, Yukka mengatakan akan memanfaatkan para celebrity endorser untuk menampilkan performa mereka di suatu panggung, tetapi penonton yang datang harus menggunakan sepatu Brodo ataupun produk lainnya. Selain itu, rencana mendatang akan dibuat video koleksi khusus Sandhy Sondoro dengan produk Brodo. Pasalnya, selain sepatu, Brodo juga sudah melebarkan sayap bisnis ke produk dompet, tas, dan pakaian khusus pria, karena adanya permintaan dari konsumen. (Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi)