Marison mampu menciptakan karya yang memesona para pencinta replika pesawat. Bahkan produknya telah diburu oleh konsumen mancanegara. Bukan hanya itu, hasil karyanya menjadi “tambang emas” dan membawanya berkesempatan mengunjungi berbagai negara.
www.108jakarta.com
Berawal dari sekadar hobi terkadang melatarbelakangi kesuksesan seseorang dalam membangun bisnis. Apalagi hobi yang digeluti bisa menghasilkan sebuah produk atau barang yang mempunyai nilai jual tinggi, terlebih tidak semua orang bisa melakukan karena dibutuhkan ide brilian dan kreativitas di dalam proses produksinya. Kisah itu pun terjadi pada Marison yang meraup ratusan juta rupiah dari hobi membuat replika pesawat terbang.
Inspirasi membuat replika pesawat memang sudah tertanam di benak Marison sejak kecil. Kegemaran mengamati “si burung besi” yang melintas di Bandara Halim Perdana Kusuma dekat rumah tinggalnya diimplementasikan dengan membuat replika pesawat dari kayu bekas gagang sapu. “Ide dan model replika pesawat yang dibuat berasal dari mengamati pesawat yang melintas. Replika pesawat yang dihasilkan akan dipakai bermain sendiri atau dijual ke teman sekolah,” kenang Marison.
Kecintaan dan rasa ingin tahu mengenai pesawat terbang, khususnya replika pesawat, terus terbawa hingga dewasa. Guna mengasah kemampuan dan keterampilannya, Marison bergabung dengan sebuah perusahaan replika pesawat. Di situlah dia mendapat informasi tentang jenis bahan dan ukuran, serta cara membuat dan merakit replika pesawat, sekaligus mempelajari potensi pasarnya, baik jenis replika pesawat komersial, pesawat tempur, helikopter, sampai pesawat ruang angkasa.
Setelah memiliki pengetahuan dan bekal yang cukup, akhirnya Marison memutuskan terjun langsung ke bisnis replikasi pesawat bersama dua rekan kerjanya sesama penghobi, pada tahun 1992. Namun, krisis ekonomi—tepatnya pada tahun 1999—membuat Marison harus melenggang sendiri lantaran kedua rekannya memilih untuk fokus di bidang lain. Apalagi di saat krisis ekonomi, usahanya tidak mendapatkan pesanan dan tidak melakukan penjualan selama enam bulan.
Tak patah arang, Marison pun terus bertahan dan berkarya membesarkan Anglo Indonesia Aircraft Models, merek replika pesawat yang diusungnya. Berkat ketekunan dan kerja keras serta bantuan dari istrinya, Nurhayati, kini usaha Marison berbuah hasil. Produk replika pesawatnya sudah diminati banyak konsumen. Tak hanya dipasarkan di dalam negeri, produk-produk Anglo sudah merambah ke pasar mancanegara, seperti Hong Kong, Jepang Filipina, Dubai, Australia, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat.
Mengamati replika pesawat Anglo, mungkin kebanyakan orang sepakat bahwa untuk membuat replika pesawat dibutuhkan keterampilan dan kreativitas yang tinggi hingga mempunyai nilai seni tersendiri. Betapa tidak, selain tingkat kesulitan cukup tinggi, diperlukan juga ketekunan dan kesabaran. “Semua konsep sudah matang di kepala, namun dalam realisasinya tak mudah karena membutuhkan pekerja (perajin) yang memiliki selera dan nilai seni yang tinggi. Bisnis replika pesawat itu unik, pengerjaannya harus mengikuti keinginan hati untuk menciptakan kepuasan dari hasil kerja sendiri, tetapi menyesuaikan minat konsumen,” ujar Marison.
Berbicara soal target pasar, Nurhayati mengatakan bahwa peminat replika pesawat bukan hanya pengoleksi individu. Malahan porsi terbesar berasal dari maskapai penerbangan yang sering memanfaatkannya untuk suvenir atau pajangan. Alhasil, segmen yang fokus dibidik Anglo adalah pasar korporat (B2B), khususnya maskapai asing. Apalagi penjualan saat ini masih didominasi oleh pasar luar negeri dengan komposisi sebesar 70% dan pasar lokal sebesar 30%. “Untuk pasar global, kami belum menggunakan merek sendiri dan masih menggandeng agen atau broker di negara terkait,” imbuh dia.
Bukan tanpa alasan Anglo lebih menyasar pasar global. Ini lantaran harga produk replika pesawat yang dihasilkan terbilang tinggi, sehingga tidak cocok dengan pasar dalam negeri. Wajar bila ini terjadi, karena proses produksi yang dilakukan hampir 100% menggunakan tangan secara manual (hand made) yang notabene memiliki tingkat kesulitan tinggi. Selain itu, dibutuhkan ketelitian serta proses produksi panjang guna menghasilkan replika pesawat yang berkualitas.
“Maskapai lokal cenderung memilih replika pesawat hasil pabrikan luar negeri seperti Cina yang proses hand made-nya hanya sekitar 10%, sekaligus memiliki harga lebih murah. Berbeda dengan maskapai asing yang lebih menyukai produk hand made. Etihad Airlines pernah mengundang kami terbang ke Abu Dhabi untuk melihat langsung replika pesawat Anglo. Meski harga 3–4 kali dari replika pesawat asal Cina, Etihad lebih percaya untuk bekerja sama dengan Anglo,” terang Marison.
Normalnya, ukuran replika pesawat yang ditawarkan Anglo mulai dari 15 cm sampai 16 m dengan harga untuk pasar lokal mulai dari Rp100.000 per unit, sedangkan untuk pasar ekspor harga minimum dipatok sebesar Rp400.000 per unit. Harga untuk pemesanan khusus bisa mencapai sekitar Rp200 juta, bahkan saat ini Anglo sedang mengikuti tender pengadaan untuk sebuah maskapai asing seharga Rp800 juta per unit dengan nilai proyek di atas Rp2 miliar.
Mengenai agresivitas pemasaran, Nurhayati mengakui pihaknya sejauh ini lebih banyak menerima pesanan ketimbang melakukan pemasaran secara langsung. Hal ini terjadi karena keterbatasan kapasitas produksi, sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan konsumen. “Penjualan Anglo masih berkisaran 60–70 unit per bulan dengan total nominal rata-rata mencapai Rp150 juta. Permintaan saat ini saja belum bisa terpenuhi semua, apalagi untuk setiap pemesanan, rata-rata konsumen harus inden selama enam bulan,” papar Nurhayati.
Lantaran tidak terlalu agresif, strategi promosi yang dilakukan Anglo hanya terfokus di ranah BTL dengan mengikuti kegiatan yang sesuai dengan target segmen pasarnya, seperti pameran Inacraft. Tentu kegiatan tersebut bertujuan meningkatkan kesadaran merek Anglo di bisnis replika pesawat. (Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar