Jumat, 04 April 2014

Kantong dari Singkong Siap Gantikan Plastik Belanja

Enviplast lahir dari banyaknya permasalahan kantong plastik, mulai dari kelangkaan bahan bakar fosil sebagai bahan baku sampai polusi plastik di alam. Produk bio-degradable berbahan singkong ini diharapkan jadi pengganti plastik belanja. 

http://atxjoni.blogspot.com 

Berdasarkan data yang dirilis Yahoo!News, Indonesia tercatat menghasilkan lebih dari 100 miliar kantong plastik setiap tahun. Jumlah ini sama dengan 12 juta barel minyak bumi, atau setara dengan nilai Rp11 triliun. Sampah kantong plastik menghabiskan waktu hingga ratusan tahun untuk dapat terurai dan telah membunuh hingga lebih dari 1 juta hewan laut per tahunnya. 

Melihat kenyataan ini, Inter Aneka Lestari Kimia—selaku produsen Aquaproof, sekaligus produsen plastik masterbatch dan compound untuk keperluan industri pengolahan plastik—mencoba menawarkan terobosan baru. Perusahaan ini merilis produk bio-degradable, yakni kantong berbahan alami yang dapat diperbarui, pengganti kantong plastik yang berbasis minyak bumi, seperti polyethylene (PE) dan polypropylene (PP). Produk ini diberi merek “Enviplast”. 

Bahan utamanya terbuat dari bahan-bahan alami yang dapat diperbarui, seperti tepung singkong (pati) dan turunan minyak nabati. Hal ini menjadikan Enviplast ramah lingkungan, aman bagi pertumbuhan tanaman, dan tidak berbahaya bagi hewan, baik di daratan maupun di dalam air. “Kandungan bahan alami sekitar 40% tepung singkong, turunan minyak nabati plus bahan alami lainnya. Tapi, akan terus ditingkatkan hingga mencapai 60%,” kata Herman Moeliana, Director PT Inter Aneka Lestari Kimia. 

Enviplast tampak seperti plastik, tetapi sama sekali bukan plastik. Jadi, meski bisa terdegradasi dalam waktu singkat dari 3 hingga 6 bulan—dibandingkan dengan plastik dari bahan baku berbasis minyak bumi yang membutuhkan waktu hingga ratusan tahun. Dalam urusan kekuatan kapasitas beban, Enviplast masih kalah dengan kekuatan plastik pada umumnya. 

Enviplast sebetulnya bukan inovasi baru bagi Aneka Lestari Kimia. Pasalnya, penelitian dan pengembangan produk bio-degradable ini sudah dimulai sejak tahun 2006 dan diperkenalkan pertama kali pada tahun 2011 dalam bentuk kantong sampah ramah lingkungan di Sea Games, Palembang. Sayangnya konsumen kurang responsif terhadap produk ini. 

Harga produksi yang mencapai dua kali lipat dari biaya produksi plastik menjadi salah satu alasan Enviplast belum sepenuhnya diterima di pasaran sampai saat ini. Padahal produk ini merupakan satu-satunya di dunia, dan mampu menjadi ikon produk Indonesia di dunia bila permintaannya meningkat dan mampu merangsek pasar global. 

Faktor lain yang diprediksi membuat permintaan melonjak adalah adanya pengesahan Peraturan Pemda DKI Jakarta No.3/2013 mengenai pengelolaan sampah. Perda ini mencakup denda Rp5 juta–Rp25 juta bagi pengelola pusat perbelanjaan yang tidak menggunakan kantong belanja ramah lingkungan. Berkaitan dengan sampah plastik, belum banyak orang yang sadar ataupun peduli akan dampak buruk yang ditimbulkan bagi lingkungan. Padahal sebagian besar sampah kantong plastik berasal dari kegiatan jual-beli masyarakat. 


“Adanya sanksi ini diharapkan masalah sampah kantong plastik di Indonesia, khususnya di Jakarta, bisa ditekan. Kami optimistis di masa mendatang akan semakin banyak konsumen, baik korporasi maupun individu, yang menggunakan Enviplast. Pabrik kami memiliki kapasitas produksi terpasang sekitar 3.000–5.000 ton per tahun, namun produksi saat ini masih sekitar 2.000 ton per tahun,” terang dia. 


Enviplast dapat diaplikasikan sebagai bahan yang mirip dari fungsi plastik, seperti kantong belanja, kantong binatu, celemek masak, hingga pembungkus peralatan elektronik, pembungkus suku cadang dan aksesori otomotif, dengan menyasar pasar B2B. Namun, target utama dari Aneka Lestari Kimia bukanlah menjual produk tersebut, melainkan memproduksi dan menjual bahan baku atau biji resinnya. 

“Tujuan kami membuat produk mirip dari fungsi plastik adalah mengedukasi pasar. Bila tingkat kepedulian konsumen dan permintaan sudah meningkat, pabrik-pabrik pengolahan plastik bisa membeli biji resinnya. Kalau perlu mesin-mesin pengolahannya bisa diperoleh dari kami, sebab ada sedikit perbedaan antara mesin pengolahan plastik biasa dan Enviplast,” jelas dia. 

Herman tidak memungkiri bahwasanya tidak mudah meyakinkan perusahaan untuk mau memanfaatkan Enviplast, yang harganya lebih mahal dari harga kantong plastik biasa dan belum dikenal pasar. Jadi, beragam edukasi pun terus dilakukan guna membangun kesadaran konsumen. Salah satunya melalui program public relations ataupun pameran. 

Adapun beberapa pameran yang pernah diikuti adalah Asian Packaging Conference on Green Packaging Revolution di Jakarta yang diselenggarakan oleh Indonesian Packaging Federation (IPF). Program ini bertujuan mengedukasi seluruh perusahaan mengenai kemasan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. 

Kemudian, ada juga pameran internasional “Eco Products” di Tokyo Big Sight, Jepang, yang diselenggarakan Japan Environmental Management Association for Industry (JEMAI). “Komunikasi edukasi kepada masyarakat ditekankan pada proses produksi dan produk akhir serta limbah Enviplast yang dapat melindungi dan menyelamatkan lingkungan dan bumi,” pungkas Herman. 

Kondisi tersebut tak membuat Herman patah arang. Ia lebih optimistis bahwa Enviplast akan diterima konsumen karena dalam beberapa tahun ke depan harganya akan setara dengan kantong plastik, lantaran minyak bumi semakin langka dan sulit didapat. Apalagi Enviplast memang diproyeksikan sebagai jawaban atas permasalahan harga bahan baku plastik dari minyak bumi yang cenderung naik dan semakin mahal. 


(Moh. Agus Mahribi/Majalah MARKETING Edisi April 2014)

Kamis, 03 April 2014

Pelopor Abon Khusus Bayi


Berbekal keinginan agar bermanfaat bagi orang banyak, Oktavia Hasim sukses memanfaatkan potensi daerah dan masyarakat lokal dalam mengembangkan bisnis abon bayi yang digeluti.

“Jangan mencoba untuk menjadi orang yang sukses, lebih baik mencoba untuk menjadi orang yang berguna” Kata-kata bijak dari Albert Einstein yang tertera di laman website Abon My Baby, bisa jadi ini yang menginspirasi Oktavia Hasim dalam meraih sukses dibisnis kuliner dan menjadi produsen abon bayi pertama di Indonesia.

Perempuan asal Probolinggo ini menceritakan, usaha tersebut dimulai dengan coba-coba dan kenekatan. Pasalnya, meski tidak memiliki pengalaman berbisnis dan pandai memasak ia tetap bertekad menekuni usaha di bidang kuliner. “Di daerah saya banyak budi budidaya ikan lele. Potensi besar inilah menginspirasi saya untuk mengembangkan pengolahan ikan lele agar memilliki nilai tambah,” ujar dia.

Menggunakan bahan baku yang banyak dan murah itu, Oktavia terus bereksperimen menjadikan beberapa penganan, termasuk abon ikan lele. Berbagai cara dilakukan untuk mencari racikan bumbu dan proses pengolahan abon lele, baik dari buku resep ataupun internet yang kemudian dimodifikasi untuk menghasilkan abon yang pas.

Ternyata, abon ikan lele yang dihasilkan bertekstur lembut, sehingga bisa dikonsumsi oleh balita delapan bulan ke atas. Dari sinilah akhirnya jadi abon My Baby, merek abon yang diproduksi Oktavia, dengan modal pertama sebesar Rp5,2 juta. “Pemilihan nama My Baby, supaya konsumen lebih mudah mengenal dan mengingat. Bisnis ini makin serius saya geluti dengan mendirikan perusahaan bernama Pradipta Jaya Food pada 8 Maret 2011,” imbuhnya.

Pertimbangan Oktavia untuk fokus di kuliner khusus bayi karena lebih mudah dari segi penjualannya. Lantaran setiap ibu pasti akan mencoba memberikan makanan yang bergizi tinggi untuk balitanya. Berapapun uang yang dibutuhkan, mereka akan rela merogoh koceknya, tapi tentunya mereka akan berhati-hati dalam memilih makanan bagi buah hati mereka, bukan berupa makanan siap saji yang mengandung bahan kimia, tetapi makan bayi yang benar-benar terbuat dari bahan alami dan bergizi.

“Berbisnis di bidang usaha makanan bayi memang lebih rentan, lebih sensitif, dan benar-benar harus hati-hati. Abon My Baby tidak menggunakan minyak, non MSG dan rendah lemak. Saya hanya memakai bahan alami, seperti ikan, bawang, garam dan gula,” ujar pemenang Wirausaha Muda Mandiri 2013 pada kelompok pascasarjana dan alumni di kategori boga.

http://abonmybaby.blogspot.com/
Keunggulan abon My Baby, bukan hanya menggunakan bahan alami, tetapi juga memiliki kadar protein yang cukup tinggi dari hasil pengujian laboratorium Universitas Brawijaya, Malang. Komposisi nutrisi dan gizi yang terkandung dalam abon My Baby sekitar 48,9% karbohidrat, lemak 20%, dan sisanya protein. 

Seperti cerita sukses lainnya yang diwarnai kegagalan. Hal ini juga yang terjadi pada Oktavia. Pasalnya, respon pertama masyarakat terhadap abon My Baby tidak seperti yang diharapkannya, tidak banyak orang yang mau membeli abon yang diproduksinya. Maklum, belum banyak yang mengenal kegunaan dan manfaatnya, apalagi dengan kemasan ala kadarnya, sehingga di tahun pertama ia mengalami kerugian.

Kondisi ini tidak membuat Oktavia putus asa, kerugian yang diderita malahan melecut dirinya untuk lebih berusaha lagi dalam meningkatkan penjualan. Abon My Baby pun terus ditawarkan ke tetangga disekitar tempat tinggalnya maupun ke beberapa toko di daerah Probolinggo. Berkat kegigihan dan upayanya mengganti kemasan dari plastik ke almunium foil serta dikemas dalam kardus seperti kardus susu bayi, lamban laun abon My Baby semakin dikenal luas.

“Setelah ganti kemasan, termasuk seringnya pengenalan melalui berbagai pameran dan media online, frekuensi permintaannya semakin meningkat. Melonjaknya permintaan saya iringi dengan penambahan varian rasa abon My Baby, seperti ikan patin, sapi, ayam, ikan salmon dan dalam waktu dekat kita luncurkan varian sayur-sayuran (vegetarian). Harganya berkisar Rp 25.000 – Rp 50.000 per kemasan isi 50 gram,” beber Oktavia.

Tak hanya kebanjiran permintaan konsumen, tetapi banyak juga masyarakat yang tertarik bergabung untuk memasarkan dan meraih untung dari bisnis abon My Baby. Melihat respon masyarakat yang bagus, dia pun mempersiapkan berbagai hal untuk skema kemitraan. Bentuknya ada retailer dengan minimal pembelian 2 lusin, agen minimal pembelian 4 lusin, dan distributor minimal pembelian 20 lusin.

Tentu saja keberhasilan tersebut buah dari upaya strategi pemasaran yang diterapkan, baik dari pemasaran secara online melalui www.abonmybaby.com dan media sosial, termasuk perluasan jaringan distributor. Saat ini abon My Baby sudah merangsek ke ritel-ritel moderen, seperti Carrefour, Hokky, Cikko dan minimarket yang tersebar di Surabaya, Malang, Probolingo, Blitar, Tulungagung dan Kediri. “Saat ini Penjualan abon My Baby menyentuh angka Rp110 juta per bulan,” ungkap dia. 

Sukses mengusai pasar Jawa Timur tak lantas membuat Oktavia berpuas diri. Target jangka panjang pun telah dicanangkan, agar abon My Baby bisa dipasarkan di seluruh toko bayi dan ritel moderen di Tanah Air, seperti produk susu bayi saat ini yang mudah ditemukan. Langkah awal diharapkan distribusi abon My Baby sudah mencapai seluruh Jawa dan Bali pada tahun 2015.

Guna mewujudkan impiannya, beberapa perluasan dan pengembangan bisnis pun sudah dipersiapkan untuk meningkatkan kualitas produk meliputi bahan baku yang terfilter, proses yang berstandard, dan pasar yang tersistem pasti dengan jaringan distribusi yang memiliki rasa nyaman dan aman.

http://abonmybaby.blogspot.com/

Sebagai pebisnis, Oktavia tidak hanya memikirkan keuntungan sendiri. Ia berharap bisnis yang dikelolanya dapat memberikan dampak sosial bagi lingkungannya. Hampir semua tenaga kerja yang dimiliki berasal dari lingkungan usahanya. “Saya berharap bisa mensejahterakan masyarakat sekitar dan abon My Baby dapat dinikmati oleh setiap orang dan manfaatnya dapat berguna bagi orang banyak,” pungkas dia. 

(Moh. Agus Mahribi/Majalah MARKETING Edisi April 2014)

Raih Mimpi Lewat Ponsel


Columbia bercita-cita mewujudkan setiap impian masyarakat Indonesia melalui aplikasi Shoot Your Dream. Berhasilkah upaya mereka? 

Mungkin banyak di antara kita tertarik akan suatu barang dan memimpikan untuk memilikinya. Padahal, di saat yang sama kita tidak punya uang tunai ataupun mengetahui tempat membeli barang tersebut. Tak usah bingung untuk mewujudkan itu, Anda hanya perlu mengambil ponsel pintar untuk memfoto produk yang diinginkan dan mengunggahnya di aplikasi “Shoot Your Dream”.

Aplikasi kredit mobile besutan Columbia ini memang diciptakan untuk membantu konsumen memperoleh dan membeli secara kredit barang yang mereka impikan, baik berupa alat elektronik, perabotan rumah tangga, gadget, sampai produk fashion dan barang-barang hobi, seperti sepeda ataupun motor. Cakupannya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga regional. 

“Aplikasi ini merupakan belanja online secara kredit dengan biaya cicilan ringan dan kompetitif. Bedanya dengan e-commerce lain, mereka menyiapkan dan menawarkan produk yang sudah ada dan mau dijual kepada konsumen. Tapi, Shoot Your Dream mengembalikan kepada konsumen produk yang mereka inginkan, dan kami akan menyediakan. Kami bisa melayani barang-barang tertentu dari luar negeri,” jelas Darwin Leo, COO Columbia.

Keberadaan aplikasi ini terlahir dari ide Darwin sendiri, kala memperingati perayaan ulang tahun Columbia yang ke-30 tahun dan pemberitaan CNN yang menyebutkan populasi Indonesia yang mencapai 250 juta orang dan didominasi oleh usia di bawah 30 tahun. “Berdasarkan data demografi ini, saya mencoba melakukan inovasi layanan yang mampu mengakomodir kebutuhan dan keinginan segmen muda yang notabene dekat dengan dunia internet,” ujar dia.

Implementasinya, Columbia yang berpengalaman di bidang pembiayaan konsumen, berupaya menggabungkan antara bisnis online dan offline agar bisa diterima segmen muda. Adanya aplikasi ini Columbia menunjukkan diri tidak hanya sebagai perusahaan brick and mortar (B&M), namun juga perusahaan inovatif terdepan yang mampu berinteraksi dengan konsumen digital. 

Columbia optimistis aplikasi ini dapat mengambil bagian dalam potensi pasar e-commerce Indonesia dan membantu konsumen yang tidak dapat membeli secara tunai produk impian mereka. Pendapatan dari transaksinya diharapkan berkontribusi sekitar 10%–20% dari total net revenue perusahaan, yang saat ini telah mencapai Rp1,3 triliun. “Tahap awal, aplikasi ini ditargetkan dapat menarik 300–500 konsumen per hari,” sebut Darwin. 

Penggunaannya juga sangat mudah, konsumen terlebih dahulu mengunduh aplikasi di Google Play, BlackBerry App World, ataupun situs www.shootyourdream.com. Setelah itu, pengguna mengunggah foto atau gambar produk yang diinginkan, lalu menunggu respons dan pemberitahuan jika produk tersedia serta proses lainnya, dan kemudian memilih rentang waktu cicilan yang diinginkan. 

Persyaratan lain yang diperlukan adalah KTP, bukti kepemilikan rumah yang bisa berupa PBB, tagihan listrik ataupun telepon, tanpa perlu jaminan seperti bank atau kartu kredit. “Produk yang dibeli minimal seharga Rp1,5 juta dan bisa memilih tenor cicilan mulai dari 3 bulan hingga 24 bulan. Tidak ada batasan maksimal harga pembelian produk, selama itu memungkinkan akan kami layani,” beber Darwin. 

Maksimal lima aplikasi produk bisa diajukan dalam skema kredit lewat Shoot Your Dream. Mengenai pembayaran, pelanggan dapat melakukan transfer ke beberapa bank yang bermitra, kantor pos, ataupun cabang-cabang Columbia. Rencana ke depan, ada penjajakan kerja sama dengan perbankan untuk kartu kredit. 

Di sini Columbia tidak menawarkan katalog barang yang dijual, karena memang konsepnya adalah “palugada” (apa lu mau gue ada) dengan mencoba menjual segala macam barang yang konsumen cari dengan harga tafsiran mereka berikan. “Ketika pengguna mengunggah foto produk yang diinginkan, mereka bisa memberikan spesifikasi, alamat toko, ataupun harga kisarannya. Nanti kami akan mencarikan produk yang sesuai,” papar dia. 

Untuk menarik konsumen, setiap hari Columbia melakukan kegiatan promosi dan kompetisi bulanan. Setelah pengajuan aplikasi, Dreamshooter—sebutan untuk para pengguna aplikasi Shoot Your Dream—dapat mengikuti kompetisi foto di Fanpage Facebook dengan satu pemenang setiap bulannya untuk mendapatkan produk impian mereka secara cuma-cuma. 

Kehadiran aplikasi Shoot Your Dream merupakan langkah awal bagi strategi e-commerce Columbia. Tentunya berbekal pengalaman panjang melayani lebih dari 8 juta rumah tangga di seluruh Indonesia, Columbia bertekad akan terus mengembangkan beragam layanan yang berbasis digital. (Moh. Agus Mahribi/Majalah MARKETING)

Sukses dengan Kaskus, Sang Pendiri Garap Pasar Anak

Bisnis toko online peralatan dan perlengkapan bayi terus menjamur. Salah satunya adalah Tororo. Apakah situs ini akan meraih sukses di tengah persaingan yang cukup ketat?

Setelah sukses menjadikan Kaskus sebagai forum diskusi dan jual-beli terbesar di Indonesia, Ken Dean Lawadinata sang pendiri situs kini mencoba peruntungan di bisnis toko online dengan merilis Tororo.com. Secara khusus situs tersebut menjual perlengkapan dan kebutuhan bayi seperti susu, perlengkapan makan, popok, tempat tidur, dan aksesori.

“Tororo berasal dari bahasa Jepang yang artinya ubi. Seperti diketahui, ubi merupakan kebutuhan pangan atau makanan yang mudah diolah, bergizi, dan mengenyangkan, serta terjangkau sehingga bisa dinikmati oleh setiap orang. Sama seperti kebutuhan anak, pastinya para orangtua akan mencari yang benar-benar sesuai kebutuhan, tanpa mengabaikan kemampuan finansial mereka. Di sinilah Tororo mencoba memenuhi kebutuhan tersebut,” kata Ken.

Ide mengembangkan Tororo memang berasal dari pengalaman Ken sebagai orangtua dan banyak orangtua lainnya dalam mencari kebutuhan si kecil yang tergolong sulit dan relatif mahal. Apalagi masalah terbesar dari masyarakat kita untuk mendapatkan kebutuhan anak adalah produk berkualitas dengan harga terjangkau dan aksesibilitas ke penyedia produk.

Kondisi ini tentu memaksa para orangtua untuk membeli kebutuhan buah hati mereka dengan harga lebih tinggi. Akhirnya mereka mengorbankan dana yang bisa disimpan untuk kebutuhan lain agar mendapatkan kenyamanan dalam memperoleh produk yang diinginkan. Padahal, kenyamanan itu tidak perlu mahal.

“Tujuan jangka panjang Tororo tidak hanya penjualan, namun diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas dan standar hidup keluarga dengan memberikan akses ke berbagai macam produk berharga terjangkau. Sehingga para orangtua dapat mengelola uang dengan baik, menghemat dari apa yang seharusnya bisa mereka hemat,” jelas dia. 

Guna mewujudkan cita-cita mulia tersebut, Ken terus berupaya mencari barang-barang yang paling dibutuhkan konsumen, bekerja sama dengan supplier berkualitas dan menekan harga serendah mungkin agar masyarakat di Indonesia mendapatkan harga yang paling baik juga ragam pilihan. Sampai saat ini produk yang tersedia sekitar 10.000 stock keeping unit (SKU). 

“Bila situs-situs toko online yang sudah ada saat ini berfokus pada fashion, alat-alat tambahan, dan barang mewah lain, Tororo lebih fokus ke produk-produk pokok kebutuhan bayi seperti susu bubuk dan popok. Harga barang di Tororo lebih murah sekitar 15% dari toko online lainnya, ditambah ongkos kirim yang hanya Rp5.000 untuk sekali pengiriman di Jakarta,” ujar dia. 

Soal segmen yang dibidik, Tororo menyasar kelas menengah-bawah, khususnya para ibu yang bekerja, karena mereka tidak memiliki waktu, sibuk mencari penghasilan buat keluarga, namun harus menjaga anak-anaknya dan mengelola keuangan dengan baik. Jadi, disediakan produk bagi kebutuhan ibu dari awal kehamilan dan pasca melahirkan serta kebutuhan anak usia 0–5 tahun. 

“Produk kami bukan hanya dibeli oleh segmen menengah-bawah yang menjadi target utama. Kenyataannya ada sejumlah konsumen kelas menengah-atas juga, bahkan beberapa artis terkenal pun turut membeli dari Tororo. Alasannya sederhana, mereka mencari kemudahan dan kenyamanan untuk mendapatkan kebutuhannya,” beber Ken.

Dunia pemasaran sangat tidak lengkap dan akan sangat sulit meraih kesuksesan tanpa adanya sebuah strategi promosi yang baik. Semakin menarik promosi di mata konsumen, semakin besar pula kemungkinan menang melawan kompetitor. Jadi, tak salah bila banyak pelaku usaha rela menggelontorkan dana besar dalam kegiatan promosi.

Sedikit berbeda pandangan, Ken lebih meyakini tidak memerlukan dana promosi berlimpah dalam membangun merek Tororo. Sebagai bisnis online, Tororo tidak banyak melakukan promosi iklan media massa, bahkan tidak memanfaatkan interactive media, seperti website ataupun media sosial. 

Hal tersebut didasari oleh pengalaman Ken ketika membesarkan Kaskus yang tidak pernah melakukan promosi dan kampanye ataupun mengalokasikan dana untuk beriklan. Begitu pula dengan Tororo, karena ia percaya bujet marketing dan kampanye bukan merupakan kunci untuk mencapai traffic tinggi.

“Saya percaya bahwa produk dan layanan, baik dari sisi kualitas, harga, kemudahan, dan kenyamanan dengan sendirinya akan menjadi promosi. Hasil yang diharapkan word of mouth dapat menular ke semua orang. Meski strategi ini tidak bisa diprediksi dan terkesan lambat, ini sudah saya terapkan di Kaskus dan mampu menarik 20 juta pengguna per bulan,” ungkap dia.

Apa yang disampaikan ada benarnya, sebab strategi ini juga cukup ampuh diterapkan di Tororo. Ini dibuktikan dengan jumlah pengunjung unik Tororo yang mencapai 2.000 per hari. Bahkan dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, situs ini mampu menghasilkan penjualan sekitar Rp2 miliar dengan rata-rata pembelian Rp420 ribu per orang per transaksi.

Kendati dapat diterima konsumen, Ken mengaku mengelola bisnis toko online cukup sulit bila dibandingkan forum diskusi dan lapak jual-beli, seperti Kaskus. Pasalnya, situs forum hanya memberikan jasa layanan sehingga mudah diterapkan pada konsumen secara nasional. Sedangkan toko online mengandalkan produk sebagai jualannya dan sering terkendala dalam pendistribusian secara nasional karena masalah geografis dan infrastruktur.

Tengok saja masalah biaya kirim. Ilustrasinya, biaya kirim produk popok seharga Rp70.000 ke luar kota bisa mencapai Rp20.000. Tentu saja sudah tidak masuk akal karena ongkos kirimnya hampir 30% dari harga produk. Guna menekan ongkos kirim ini, Tororo terus melakukan upaya kerja sama dengan penyedia jasa pengiriman dan rencananya akan membangun gudang di beberapa daerah agar lebih dekat dalam pengiriman.

Ken berharap, Tororo dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di seluruh Indonesia. Target pasar yang dikejar toko online ini sebenarnya bukan masyarakat Jakarta, tetapi daerah-daerah di luarnya. “Yang paling membutuhkan produk terjangkau dan berkualitas adalah masyarakat daerah di tengah keterbatasan pilihan. Ironisnya, masyarakat daerah yang memiliki penghasilan lebih rendah dan lebih membutuhkan, pilihannya dibatasi dan harganya jauh lebih mahal,” pungkas Ken. (Moh.Agus Mahribi/Majalah MARKETING)