Andris Wijaya berupaya
memopulerkan kembali beras Garut dengan cara yang lebih inovatif melalui
pengembangan nasi liwet instan dan restoran.
Banyak entrepreneur sukses yang
mengikuti jejak bisnis orang tuanya, bahkan mewarisi bisnis yang telah dirintis
orang tuanya. Sebut saja Andris Wijaya yang meneruskan usaha beras curah milik
ayahnya, almarhum H. Dedi Mulyadi, dengan merek beras Garut 1001 (Seribu Satu) yang
sudah dirintis sejak tahun 1975.
Kala mengambil alih usaha beras
Garut 1001 pada tahun 2001, Andris mengalami banyak kesulitan lantaran tidak
memiliki pengalaman sama sekali tentang usaha beras. Apalagi latar belakang
pendidikan teknologi energi yang digenggamnya tidak berkorelasi dengan bisnis
yang dia geluti.
“Awal-awal menjalankan usaha
sering tertipu rekan bisnis. Bukan keuntungan yang didapat malahan modal
semakin berkurang. Padahal saya mempunyai kewajiban membayar utang yang
jumlahnya mencapai Rp200 juta. Kondisi tersebut membuat saya frustasi. Sampai
terbesit keinginan untuk mundur dan menjual pabrik penggilingan beras,” kenang
Andris.
Dalam kondisi tertekan, Andris
teringat akan filosofi yang ditanamkan almarhum ayahnya, mengenai merek 1001.
Merek ini mengandung filosofi sesuatu yang baik dan mendekati kesempurnaan yang
biasanya langka. Di antara 1.000 cuma ada 1 yang istimewa. Dari situ dia
berpikir merek 1001 harus memiliki perbedaan dari pemain beras lainnya agar
menjadi istimewa.
Bermodalkan keilmuannya di
bidang teknologi energi, Andris bersama kakaknya mencoba memodifikasi mesin yang
bisa menggiling sekaligus mencuci, termasuk mengubah sistem penggilingan beras
dari 1 kali menjadi 3 kali. Walhasil, beras yang diproduksi lebih putih, mulus,
dan bersih. Inilah keunggulan dan diferensiasi beras produksi 1001 sehingga
memiliki nilai jual lebih dibanding pesaingnya.
“Ketika dijual ke Jakarta
ternyata beras 1001 harganya lebih mahal Rp1.000 dibandingkan beras asal Garut
lainnya. Dari situ perusahaan mulai bangkit, dan permintaan semakin meningkat. Bahkan
ada distributor besar di Jakarta yang meminta 1001 menjadi pemasok tetap beras
Garut,” ujar alumnus Fakultas Teknik Energi Politeknik Negeri ITB.
Beri Nilai Tambah
Kendati beras curah asal Garut,
khususnya 1001, sudah mulai diterima pasar dan dihargai lebih tinggi,
popularitas beras Garut masih kalah dibandingkan beras asal daerah lain,
seperti Cianjur. Apalagi para agen di Jakarta masih bertindak curang, mengganti
karung beras pasokannya dengan karung merek lain.
Melihat kenyataan tersebut Andris
merasa miris dan bertekad mengangkat beras asal Garut agar lebih dikenal
konsumen. Beberapa eksperimen dan penelitian pun dilakukan untuk menemukan
inovasi baru, yaitu mengubah beras yang tadinya hanya dijual curah menjadi produk
unik dan memiliki nilai tambah yang besar secara ekonomi.
Akhirnya Andris menoleh pada
nasi liwet yang banyak dijajakan di rumah makan di Garut. Ia pun mulai
mengembangkan makanan nasi liwet, namun menganut konsep mie instan. Maka
terciptalah Liwet Instan 1001 dengan berbagai varian rasa untuk menyasar para
wisatawan yang berkunjung ke Garut. “Eksperimen dilakukan awal Januari 2011.
Setelah 6 bulan barulah diluncurkan sebanyak 3 varian isi 500 gram , yakni rasa
jengkol, jambal, dan pete sebagai khas makanan Sunda,” sebut dia.
Pertama diperkenalkan memang
respons konsumen kurang baik, bahkan ketika ditawarkan ke sejumlah toko
oleh-oleh di Garut, banyak yang menolak. Tak patah arang, Andris pun memberikan
sampel ke toko-toko tersebut. Bahkan ketika pergi ke mana saja, ia selalu
membawa rice cooker untuk mempromosikan nasi liwet instannya kepada orang-orang
yang ditemui.
Tak hanya kolega dan rekan
bisnisnya, Andris pun mencoba mendatangi kantor-kantor pemerintahan untuk mempromosikan
Liwet Instan 1001 dan tujuannya mengangkat nama beras Garut. Gayung bersambut,
ia pun diundang Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian untuk
mengikuti pameran di Gasibu, Bandung.
Setelah mengikuti beberapa
pameran, permintaan Liwet Instan 1001 mulai berdatangan, bahkan pemilik toko
oleh-oleh yang dulu menolak mendatangi Andris, minta supaya tokonya dipasok.
“Dari ketiga varian yang diluncurkan, varian jambal yang paling laku. Guna
memenuhi tuntutan konsumen, kami mengeluarkan liwet instan ukuran 250 gram dan
menambah empat rasa baru yakni original, pedas, cumi, dan teri,” imbuh dia.
Agar produknya dikenal luas,
Andris pun mulai melirik ke pasar ritel modern. Pertimbangannya, toko oleh-oleh
hanya dikunjungi bila wisatawan datang ke Garut saja. Harapannya setelah mengonsumsi
liwet instan, konsumen—baik wisatawan yang datang ke Garut maupun pembeli di ritel
modern—bisa merasakan keunggulan beras Garut. Dengan begitu ketika membeli
kebutuhan di pasar-pasar induk, mereka akan mencari beras dengan karung-karung
merek asal Garut.
Sukses memasarkan Liwet Instan
1001, bisnis Andris kian menggurita dengan mengeluarkan produk lain yang
meliputi beras Aromatic 1001, Nasi Uduk Warna 1001, Cireng Raosana 1001. Selain
memberikan manfaat bagi lingkungan dan mengangkat nama beras asal Garut, usaha Andris
juga meraih omzet yang cukup fantastis. Kabarnya mencapai puluhan miliar rupiah
per tahun.
“Untuk lebih memudahkan
konsumen, kami terus melakukan inovasi produk. Khusus produk liwet instan
sedang dipersiapkan terobosan baru. Jika sebelumnya cara mengolah harus dimasak
dengan rice cooker, tahun depan akan hadir liwet instan yang tinggal diseduh
air panas sehingga lebih praktis,” beber Andris.
Masuk Bisnis Restoran
Ekspansi bisnis 1001 tak
berhenti pada makanan olahan saja. Andris terus mencari peluang pasar yang unik
dan berbeda sesuai dengan filosofi merek 1001. Terinspirasi dari kegemaran
Andris dan istri mengonsumsi makanan shabu-shabu dan sukiyaki, ia pun
memutuskan masuk ke bisnis restoran shabu-shabu dan sukiyaki versi Sunda dengan
nama “d’Anclom”, yang dalam bahasa Indonesia berarti “dicelup”.
Bila shabu-shabu dan sukiyaki
cara masaknya direbus dan dicelup, kafe d’Anclom juga menyuguhkan makanan yang
tak lepas dari kuah (celupan). Namun, menu andalannya berupa makanan khas Sunda
seperti seblak dan olahan aci, meliputi aci ngambay (cibay), aci gemol (cimol),
aci goreng (cireng), hingga bakso aci.
Selain menu yang unik, nama
makanannya pun unik, yakni Tigeulebuh (jatuh di air), Titeuleum (tenggelam),
Tigeujebur (terperosok), dan banyak lagi. Tak sebatas makanan tradisional Sunda,
d’Anclom juga menambahkan menu makanan modern berupa steak, pizza aneka buah,
ayam bulgogi, tom yam, hingga bitter bullen atau sejenis perkedel dengan
berbagai rasa. “Segmen yang dibidik d’Anclom adalah kalangan muda dan keluarga,
termasuk para wisatawan yang berkunjung ke Garut.
Untuk mempromosikan d’Anclom,
Andris memiliki berbagai cara. Di antaranya menjadikan restorannya sebagai
lokasi prewedding. Apalagi restorannya didesain layaknya bangunan kuno Belanda,
sehingga menarik para calon pengantin. Promosi lainnya yaitu mengadakan kontes
foto restoran di media sosial untuk menciptakan pemasaran getok tular. (Majalah MARKETING/Moh.
Agus Mahribi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar