Senin, 04 April 2016

Anut Filosofi Bisnis 1001

Andris Wijaya berupaya memopulerkan kembali beras Garut dengan cara yang lebih inovatif melalui pengembangan nasi liwet instan dan restoran.

Banyak entrepreneur sukses yang mengikuti jejak bisnis orang tuanya, bahkan mewarisi bisnis yang telah dirintis orang tuanya. Sebut saja Andris Wijaya yang meneruskan usaha beras curah milik ayahnya, almarhum H. Dedi Mulyadi, dengan merek beras Garut 1001 (Seribu Satu) yang sudah dirintis sejak tahun 1975.



Kala mengambil alih usaha beras Garut 1001 pada tahun 2001, Andris mengalami banyak kesulitan lantaran tidak memiliki pengalaman sama sekali tentang usaha beras. Apalagi latar belakang pendidikan teknologi energi yang digenggamnya tidak berkorelasi dengan bisnis yang dia geluti.

“Awal-awal menjalankan usaha sering tertipu rekan bisnis. Bukan keuntungan yang didapat malahan modal semakin berkurang. Padahal saya mempunyai kewajiban membayar utang yang jumlahnya mencapai Rp200 juta. Kondisi tersebut membuat saya frustasi. Sampai terbesit keinginan untuk mundur dan menjual pabrik penggilingan beras,” kenang Andris.

Dalam kondisi tertekan, Andris teringat akan filosofi yang ditanamkan almarhum ayahnya, mengenai merek 1001. Merek ini mengandung filosofi sesuatu yang baik dan mendekati kesempurnaan yang biasanya langka. Di antara 1.000 cuma ada 1 yang istimewa. Dari situ dia berpikir merek 1001 harus memiliki perbedaan dari pemain beras lainnya agar menjadi istimewa.

Bermodalkan keilmuannya di bidang teknologi energi, Andris bersama kakaknya mencoba memodifikasi mesin yang bisa menggiling sekaligus mencuci, termasuk mengubah sistem penggilingan beras dari 1 kali menjadi 3 kali. Walhasil, beras yang diproduksi lebih putih, mulus, dan bersih. Inilah keunggulan dan diferensiasi beras produksi 1001 sehingga memiliki nilai jual lebih dibanding pesaingnya.

“Ketika dijual ke Jakarta ternyata beras 1001 harganya lebih mahal Rp1.000 dibandingkan beras asal Garut lainnya. Dari situ perusahaan mulai bangkit, dan permintaan semakin meningkat. Bahkan ada distributor besar di Jakarta yang meminta 1001 menjadi pemasok tetap beras Garut,” ujar alumnus Fakultas Teknik Energi Politeknik Negeri ITB.

Beri Nilai Tambah
Kendati beras curah asal Garut, khususnya 1001, sudah mulai diterima pasar dan dihargai lebih tinggi, popularitas beras Garut masih kalah dibandingkan beras asal daerah lain, seperti Cianjur. Apalagi para agen di Jakarta masih bertindak curang, mengganti karung beras pasokannya dengan karung merek lain.

Melihat kenyataan tersebut Andris merasa miris dan bertekad mengangkat beras asal Garut agar lebih dikenal konsumen. Beberapa eksperimen dan penelitian pun dilakukan untuk menemukan inovasi baru, yaitu mengubah beras yang tadinya hanya dijual curah menjadi produk unik dan memiliki nilai tambah yang besar secara ekonomi.

Akhirnya Andris menoleh pada nasi liwet yang banyak dijajakan di rumah makan di Garut. Ia pun mulai mengembangkan makanan nasi liwet, namun menganut konsep mie instan. Maka terciptalah Liwet Instan 1001 dengan berbagai varian rasa untuk menyasar para wisatawan yang berkunjung ke Garut. “Eksperimen dilakukan awal Januari 2011. Setelah 6 bulan barulah diluncurkan sebanyak 3 varian isi 500 gram, yakni rasa jengkol, jambal, dan pete sebagai khas makanan Sunda,” sebut dia.

Pertama diperkenalkan memang respons konsumen kurang baik, bahkan ketika ditawarkan ke sejumlah toko oleh-oleh di Garut, banyak yang menolak. Tak patah arang, Andris pun memberikan sampel ke toko-toko tersebut. Bahkan ketika pergi ke mana saja, ia selalu membawa rice cooker untuk mempromosikan nasi liwet instannya kepada orang-orang yang ditemui.

Tak hanya kolega dan rekan bisnisnya, Andris pun mencoba mendatangi kantor-kantor pemerintahan untuk mempromosikan Liwet Instan 1001 dan tujuannya mengangkat nama beras Garut. Gayung bersambut, ia pun diundang Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian untuk mengikuti pameran di Gasibu, Bandung. 

Setelah mengikuti beberapa pameran, permintaan Liwet Instan 1001 mulai berdatangan, bahkan pemilik toko oleh-oleh yang dulu menolak mendatangi Andris, minta supaya tokonya dipasok. “Dari ketiga varian yang diluncurkan, varian jambal yang paling laku. Guna memenuhi tuntutan konsumen, kami mengeluarkan liwet instan ukuran 250 gram dan menambah empat rasa baru yakni original, pedas, cumi, dan teri,” imbuh dia.

Agar produknya dikenal luas, Andris pun mulai melirik ke pasar ritel modern. Pertimbangannya, toko oleh-oleh hanya dikunjungi bila wisatawan datang ke Garut saja. Harapannya setelah mengonsumsi liwet instan, konsumen—baik wisatawan yang datang ke Garut maupun pembeli di ritel modern—bisa merasakan keunggulan beras Garut. Dengan begitu ketika membeli kebutuhan di pasar-pasar induk, mereka akan mencari beras dengan karung-karung merek asal Garut.

Sukses memasarkan Liwet Instan 1001, bisnis Andris kian menggurita dengan mengeluarkan produk lain yang meliputi beras Aromatic 1001, Nasi Uduk Warna 1001, Cireng Raosana 1001. Selain memberikan manfaat bagi lingkungan dan mengangkat nama beras asal Garut, usaha Andris juga meraih omzet yang cukup fantastis. Kabarnya mencapai puluhan miliar rupiah per tahun.

“Untuk lebih memudahkan konsumen, kami terus melakukan inovasi produk. Khusus produk liwet instan sedang dipersiapkan terobosan baru. Jika sebelumnya cara mengolah harus dimasak dengan rice cooker, tahun depan akan hadir liwet instan yang tinggal diseduh air panas sehingga lebih praktis,” beber Andris.

Masuk Bisnis Restoran

Ekspansi bisnis 1001 tak berhenti pada makanan olahan saja. Andris terus mencari peluang pasar yang unik dan berbeda sesuai dengan filosofi merek 1001. Terinspirasi dari kegemaran Andris dan istri mengonsumsi makanan shabu-shabu dan sukiyaki, ia pun memutuskan masuk ke bisnis restoran shabu-shabu dan sukiyaki versi Sunda dengan nama “d’Anclom”, yang dalam bahasa Indonesia berarti “dicelup”.

Bila shabu-shabu dan sukiyaki cara masaknya direbus dan dicelup, kafe d’Anclom juga menyuguhkan makanan yang tak lepas dari kuah (celupan). Namun, menu andalannya berupa makanan khas Sunda seperti seblak dan olahan aci, meliputi aci ngambay (cibay), aci gemol (cimol), aci goreng (cireng), hingga bakso aci.

Selain menu yang unik, nama makanannya pun unik, yakni Tigeulebuh (jatuh di air), Titeuleum (tenggelam), Tigeujebur (terperosok), dan banyak lagi. Tak sebatas makanan tradisional Sunda, d’Anclom juga menambahkan menu makanan modern berupa steak, pizza aneka buah, ayam bulgogi, tom yam, hingga bitter bullen atau sejenis perkedel dengan berbagai rasa. “Segmen yang dibidik d’Anclom adalah kalangan muda dan keluarga, termasuk para wisatawan yang berkunjung ke Garut.


Untuk mempromosikan d’Anclom, Andris memiliki berbagai cara. Di antaranya menjadikan restorannya sebagai lokasi prewedding. Apalagi restorannya didesain layaknya bangunan kuno Belanda, sehingga menarik para calon pengantin. Promosi lainnya yaitu mengadakan kontes foto restoran di media sosial untuk menciptakan pemasaran getok tular. (Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar