Melalui ide-ide baru yang original dan tidak biasa, Zulfayetri mampu membuat rendang berbahan baku telur yang mampu bertahan lama. Dari modifikasi ini pula ia meraup omzet ratusan juta rupiah dan diganjar banyak penghargaan di bidang inovasi.
Inovasi dan kreativitas adalah faktor yang perlu dimiliki
dan dikembangkan dalam diri pelaku wirausaha untuk mengembangkan produk
atau jasa yang menyesuaikan kebutuhan konsumen. Kedua faktor inilah yang
menjadi konsen Zulfayetri ketika memulai bisnis rendang telur Kokoci 10 tahun
silam.
Zulfayetri mengatakan, sebenarnya dari dulu sudah ada rendang telur tapi potongannya masih sebesar tahu dan hanya mampu bertahan selama tiga hari. Dari situ timbul ide untuk melakukan inovasi dengan memproses rendang telur supaya lebih tahan lama.
“Proses produksi rendang telur diubah dengan membuat adonan tipis-tipis, dengan potongan lebih kecil tanpa menghilangkan ciri khas makanan Minang. Tapi, dapat bertahan lebih lama dari yang tadinya tiga hari
kini bisa bertahan selama satu tahun,” ungkapnya.
Masuk ke bisnis rendang telur diceritakan pria yang akrab disapa Zul ini berawal
dari banyaknya telur retak dari peternakan ayam miliknya dan peternak lainnya
yang terletak di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Estimasinya ada sekitar 2% telur retak
dan pecah dari total telur yang dihasilkan sentra peternakan ayam tersebut.
“Biasanya telur yang retak dan pecah ini tidak diminati pembeli, kalaupun
dijual harganya murah. Akhirnya telur-telur tersebut dibikin kue basah, namun
jumlahnya terlalu banyak sehingga tidak bisa terserap
semua. Dari situ timbul ide untuk mengelola ‘limbah’ telur ini menjadi produk makanan yang memiliki nilai
tambah,” ucap penerima penghargaan Inovasi Manajemen Bisnis Produk Peternakan
dan Inovasi Produk Tanaman Pangan 2013.
Zul memilih menjadikan telur-telur tersebut sebagai masakan
rendang karena makanan ini khas Sumatera Barat yang sudah
populer di Indonesia, bahkan hingga
mancanegara. Bila lazimnya rendang menggunakan daging dan paru, ia memodifikasi
menggunakan telur sebagai bahan bakunya sehingga menjadi rendang kering yang
bisa disantap kapan saja.
“Modal awalnya 30 butir telur dan uang sebesar Rp50.000. Rendang yang
dihasilkan tidak memakai bahan pengawet. Tapi, bisa tahan lama lantaran minyak di rendang ditiriskan hingga
kering,” ungkap Zul.
Strategi Pemasaran
Untuk memasarkan produk rendang telurnya, Zul menggunakan merek Kokoci,
yang diambil dari nama salah satu nagari di Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota
Sumatera Barat, yakni Koto Kaciak. Namun, nama ini juga bisa diartikan sebagai
singkatan dari “koko” dan “cici” atau dalam bahasa Minang, uda dan uni, atau panggilan untuk laki-laki
dan perempuan yang merupakan segmen dari produk rendang telur ini.
“Merek tersebut diharapkan mudah
diingat, dan produk rendang telur Kokoci disukai oleh semua orang tidak hanya
orang Minang saja,” ujar Zul yang tahun 2015 lalu menerima penghargaan Paramakarya.
Terkait pemasaran rendang telur Kokoci, Zul menerapkan beberapa strategi.
Awalnya hanya dilakukan promosi mulut ke mulut (word of mouth) di lingkungan sekitarnya. Kemudian dia pun mengikuti beberapa pameran, salah satunya Pekan Raya Jakarta (PRJ) pada tahun 2006.
Dalam pameran tersebut respons pengunjung cukup bagus,
bahkan mendapatkan beberapa pesanan.
Seiring berjalannya waktu, rendang Kokoci pun makin dikenal masyarakat.
Pada tahun 2007, merek Kokoci berhasil masuk toko oleh-oleh keripik Balado
Christine Hakim. Bahkan sempat menembus Giant dan Hypermart walaupun dari sisi
kemasan masih banyak kekurangan karena menggunakan bahan plastik.
“Di Giant hanya sekitar 1 tahunan, malahan untuk Hypermart tidak sampai 1 tahun karena masalah administrasi dan distribusi. Namun saat ini, konsumen bisa mendapatkan
rendang Kokoci di Lottemart serta toko oleh-oleh dan toko kue dari Aceh hingga
Surabaya. Di tahun ini kemungkinan akan masuk ke Carrefour dan Alfamart Palembang,” bebernya.
Melebar ke Makanan Camilan
Bila awalnya Kokoci hanya memproduksi rendang telur, kini jenis rendang
yang ditawarkan pun bermacam-macam. Ada rendang daging, paru, belut, runtiah (daging suwir), ubi maco (singkong dan ikan teri), dan ada pula beberapa makanan camilan, seperti kentang balado, keripik balado, aneka umbi-umbian.
Rendang kering dibanderol mulai Rp20.000─Rp55.000 untuk setiap kemasan berisi
sekitar 185 gram─200 gram. Sementara harga camilan dipatok mulai dari Rp15.000. “Saat
ini ada 13 varian yang telah dipasarkan. Akan ada 4 varian yang dilepas ke pasar, yakni rendang ikan lele dan
3 makanan camilan,” sebut Zul.
Kontribusi penjualan rendang dan camilan saat ini bisa
dibilang berimbang. Penjualan rendang terbesar
berasal dari rendang telur sekitar 60%, sedangkan camilan yang paling laku adalah ubi ganepo dan keripik balado. Dari bisnis ini Zul bisa memperoleh omzet di atas Rp100 juta setiap bulannya.
Proses produksinya juga
sudah mengalami perkembangan dengan
mengacu pada
standar nasional industri (SNI), GMP, dan ACCP sehingga rendang telur menjadi higienis dan lebih tahan lama. Namun
begitu, proses memasak tradisional masih dipertahankan, yaitu penggunaan tungku dan kayu
bakar agar cita rasa rendang yang dihasilkan
lebih enak.
Meski rendang termasuk kuliner tradisional, Zul sangat memerhatikan kemasan
untuk menjaga kualitas produk. Ia mengklaim produknya dengan kemasan plastik tebal dapat bertahan selama 3
bulan,
sedangkan dengan kemasan kardus karton bisa
bertahan selama 6 bulan, dan 1 tahun dengan kemasan kaleng komposit. “Kokoci merupakan satu-satunya produsen rendang yang
menggunakan kaleng komposit,” jelasnya.
Sukses di bisnis rendang tidak membuat Zul berpuas diri. Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian IPB ini memiliki ambisi membuat restoran yang dilengkapi dengan toko oleh-oleh dan pabrik produksi berskala kecil untuk memberikan edukasi dan pengalaman dan pengunjung tentang pembuatan makanan khas Sumatera Barat, khususnya rendang. (Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi)
Sukses di bisnis rendang tidak membuat Zul berpuas diri. Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian IPB ini memiliki ambisi membuat restoran yang dilengkapi dengan toko oleh-oleh dan pabrik produksi berskala kecil untuk memberikan edukasi dan pengalaman dan pengunjung tentang pembuatan makanan khas Sumatera Barat, khususnya rendang. (Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar