Lucky Dana Aria berhasil menyulap limbah kayu menjadi jam
ramah lingkungan (eco watch) dengan
omzet ratusan juta rupiah.
Istimewa |
Rasanya tak berlebihan bila
Kota Bandung dijuluki sebagai kota kreatif. Pasalnya, sejak dulu Kota Kembang ini
telah banyak menghasilkan entrepreneur yang kreatif dan inovatif di bidang fashion, mode, seni, dan
budaya. Salah satunya Lucky Dana Aria, anak muda kreatif asal Bandung yang
menghasilkan karya unik berupa jam tangan kayu.
Lucky mulai menggeluti bisnis
jam tangan kayu sejak tahun 2011 lalu. Kala itu, ia tertarik dengan keunikan
jam tangan kayu miliknya yang dibuat di Amerika Serikat. Setelah dipelajari, ternyata bahan kayunya berasal dari Indonesia dan
dipasarkan lagi ke Indonesia. “Dari situ timbul ide untuk membuat jam tangan
kayu, apalagi bahan kayunya banyak tersedia di sini,” ujarnya bercerita.
Bermodalkan dana yang terbilang
sangat minim dan keterbatasan pengetahuan, Lucky mencoba melakukan riset sederhana
selama setahun dengan menerapkan prinsip ATM (amati, tiru, dan modifikasi). Konkretnya ia rela membongkar jam
tangan kayu miliknya untuk mengetahui teknik mesin dan segala detail cara
pembuatannya sekaligus mencari celah untuk melakukan inovasi.
“Modal utamanya hanya ide dan
eksekusi. Inovasi adalah proses lanjutan setelah adanya ide, untuk kemudian
menjadi sebuah eksekusi. Diproduksinya satu tahun kemudian pada tahun 2012
karena susah mencari perajin yang mampu membuat jam tangan kayu,” terang pria
kelahiran Bandung, 23 Maret 1986 tersebut.
Meski berhasil memproduksi jam
tangan kayu, Lucky menyadari produk besutannya memerlukan merek agar dikenal
dan mudah untuk dipasarkan. Akhirnya, ia memilih menggunakan nama “Matoa” yang merupakan
nama salah satu pohon khas Indonesia yang tumbuh besar dan tinggi di daratan
Papua.
Pemilihan merek juga didasari
pengalaman Lucky yang sudah beberapa kali mencoba membuat merek dan usaha. Tapi
dari semua merek yang dibuat, tidak ada yang
diingat oleh konsumen. Maka sejak saat itu ia berpikir untuk membuat sebuah
merek yang mudah diingat, harus unik, dan
original.
“Filosofi pohon Matoa
diharapkan bisa menjadi representasi bisnis Matoa ke depan supaya menjadi besar dan memimpin di bisnis produk lifestyle berbahan dasar kayu. Saat ini merek Matoa tidak akan salah ucap oleh orang
dari negara mana
pun. Begitu pula ketika orang dari
negara lain mencari tahu apa arti Matoa, yang
pertama kali muncul adalah Indonesia,” jelas Lucky.
Produk Matoa yang pertama kali
dibuat adalah tipe Rote berbentuk kotak dengan bahan kayu Eboni Makassar dan
Maple Kanada yang dipasarkan di sebuah pameran di Jakarta. Pada pameran
tersebut, konsumen masih bingung dan ragu dengan jam tangan kayu Matoa karena
dibanderol dengan harga yang cukup tinggi, sebesar Rp890.000.
Konsumen masih banyak
membandingkan jam tangan kayu dengan gelang kayu yang bisa didapatkan dengan
harga di
bawah Rp10.000, padahal tingkat kerumitan dua produk
tersebut sangat berbeda jauh. “Untuk meyakini konsumen, Matoa berani memberi
garansi ganti baru, meski rusak akibat kelalaian pembeli, selama enam bulan. Hasilnya cukup menggembirakan karena
mampu terjual kurang lebih 100 unit dalam 2 hari,” sebut Lucky.
Mengenai bahan baku, Lucky
mengatakan banyak menggunakan bahan baku kayu Eboni dari Makassar dan Maple dari Kanada yang sangat mudah didapat dari wilayah Jawa Barat.
Sebagian kayu yang digunakan merupakan limbah industri furnitur, yang dicampur
dengan kayu baru.
“Saat ini Matoa menawarkan
beberapa tipe, di antaranya Flores, Sumba, Gili, Rote, Mayo, dan Jalak. Kami memiliki tim desain dari ITB, sedangkan idenya diambil dari banyak
referensi mengacu pada beragam kultur lokal Indonesia. Dalam satu tahun Matoa
minimal merilis dua
produk baru,” jelas penghobi traveling ini.
Kisaran harga Matoa mulai dari
Rp980.000 hingga Rp1.400.000 untuk edisi terbatas. Edisi ini menggunakan
bahan kayu yang berbeda sebab memiliki motif dua warna pada satu batang kayu yang
jarang didapat, sehingga harganya lebih mahal.
Bangkit Setelah Nyaris Bangkrut
Seperti cerita sukses pada
umumnya, Lucky juga mengalami masa-masa sulit pada tahun-tahun awal memulai
usaha. Hal
itu lantaran ia belum bisa memproduksi jam tangan kayu sendiri
sehingga harus bermitra dengan pihak lain. Apalagi latar belakang pendidikannya bukan di bidang tersebut, ditambah lagi produk yang dibuat masih tergolong baru dan masih sedikit perajin kayu di
Indonesia yang mengerti dan memahaminya.
“Di tahun pertama hampir
terancam bangkrut karena mitra bisnis tidak mau melanjutkan produksi
dan tidak ada lagi yang mampu produksi jam tangan kayu. Setelah negosiasi
akhirnya produksi diperpanjang beberapa bulan. Belajar dari pengalaman
tersebut, akhirnya saya belajar dan memberanikan diri untuk memproduksi
sendiri,” jelasnya.
Saat ini Lucky bukan hanya
berhasil memproduksi jam tangan kayu sendiri secara keseluruhan. Dia juga
berhasil mengembangkan produk lifestyle
berbahan dasar kayu lainnya seperti dasi kupu-kupu kayu dan speaker kayu, bahkan sedang bersiap untuk
memproduksi produk-produk furnitur dengan merek Matoa.
“Fokusnya masih di jam tangan
kayu dengan menyasar target usia 20─35 dengan kelas sosial menengah atas. Kami
mampu menjual sekitar 500 unit jam tangan per bulan dengan model yang paling
laku adalah tipe Rote. Omzet Matoa kurang lebih sekitar Rp400 juta─Rp500 juta
per bulan. Konsumen utama Matoa masih berasal dari wilayah Jabodetabek,
Sumatera, dan Bali,” beber dia.
Istimewa |
Selain pasar domestik, jam
tangan kayu Matoa juga diminati pasar mancanegara. Bahkan 30% dari total penjualan sudah tersebar ke banyak
negara melalui beberapa distributor Matoa yang berlokasi di Singapura, Jepang,
Malaysia, dan Beijing.
Terserapnya produk Matoa di
pasar mancanegara memang tak terlepas dari kepiawaian Lucky menjadikan kultur
Indonesia sebagai selling point dan memanfaatkan strategi word of mouth marketing, sehingga merek Matoa banyak diperbincangkan orang, dengan menjadikan media sosial senjata utama dalam
proses pemasaran.
Strategi lainnya yaitu gencar melakukan pameran dan kerja sama korporasi, termasuk mendekati pihak pemerintah,
dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk mendukung promosi.
“Kami akan terus mengembangkan titik distribusi di dalam negeri dan menambah
kuota ekspor. Dari sisi produk Matoa akan mengembangkan produk open damping lain agar segera diterima
pasar,” pungkas Lucky yang mendapatkan penghargaan dari pemerintah Kota Bandung
sebagai Top Produk Kreatif 2015. (Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar