Senin, 04 April 2016

Jam Kayu dari Kota Priangan


Lucky Dana Aria berhasil menyulap limbah kayu menjadi jam ramah lingkungan (eco watch) dengan omzet ratusan juta rupiah.

Istimewa
Rasanya tak berlebihan bila Kota Bandung dijuluki sebagai kota kreatif. Pasalnya, sejak dulu Kota Kembang ini telah banyak menghasilkan entrepreneur yang kreatif dan inovatif di bidang fashion, mode, seni, dan budaya. Salah satunya Lucky Dana Aria, anak muda kreatif asal Bandung yang menghasilkan karya unik berupa jam tangan kayu.

Lucky mulai menggeluti bisnis jam tangan kayu sejak tahun 2011 lalu. Kala itu, ia tertarik dengan keunikan jam tangan kayu miliknya yang dibuat di Amerika Serikat. Setelah dipelajari, ternyata bahan kayunya berasal dari Indonesia dan dipasarkan lagi ke Indonesia. “Dari situ timbul ide untuk membuat jam tangan kayu, apalagi bahan kayunya banyak tersedia di sini,” ujarnya bercerita.

Bermodalkan dana yang terbilang sangat minim dan keterbatasan pengetahuan, Lucky mencoba melakukan riset sederhana selama setahun dengan menerapkan prinsip ATM (amati, tiru, dan modifikasi). Konkretnya ia rela membongkar jam tangan kayu miliknya untuk mengetahui teknik mesin dan segala detail cara pembuatannya sekaligus mencari celah untuk melakukan inovasi.

“Modal utamanya hanya ide dan eksekusi. Inovasi adalah proses lanjutan setelah adanya ide, untuk kemudian menjadi sebuah eksekusi. Diproduksinya satu tahun kemudian pada tahun 2012 karena susah mencari perajin yang mampu membuat jam tangan kayu,” terang pria kelahiran Bandung, 23 Maret 1986 tersebut.

Meski berhasil memproduksi jam tangan kayu, Lucky menyadari produk besutannya memerlukan merek agar dikenal dan mudah untuk dipasarkan. Akhirnya, ia memilih menggunakan nama Matoayang merupakan nama salah satu pohon khas Indonesia yang tumbuh besar dan tinggi di daratan Papua.

Pemilihan merek juga didasari pengalaman Lucky yang sudah beberapa kali mencoba membuat merek dan usaha. Tapi dari semua merek yang dibuat, tidak ada yang diingat oleh konsumen. Maka sejak saat itu ia berpikir untuk membuat sebuah merek yang mudah diingat, harus unik, dan original.

“Filosofi pohon Matoa diharapkan bisa menjadi representasi bisnis Matoa ke depan supaya menjadi besar dan memimpin di bisnis produk lifestyle berbahan dasar kayu. Saat ini merek Matoa tidak akan salah ucap oleh orang dari negara mana pun. Begitu pula ketika orang dari negara lain mencari tahu apa arti Matoa, yang pertama kali muncul adalah Indonesia,” jelas Lucky.

Produk Matoa yang pertama kali dibuat adalah tipe Rote berbentuk kotak dengan bahan kayu Eboni Makassar dan Maple Kanada yang dipasarkan di sebuah pameran di Jakarta. Pada pameran tersebut, konsumen masih bingung dan ragu dengan jam tangan kayu Matoa karena dibanderol dengan harga yang cukup tinggi, sebesar Rp890.000.

Konsumen masih banyak membandingkan jam tangan kayu dengan gelang kayu yang bisa didapatkan dengan harga di bawah Rp10.000, padahal tingkat kerumitan dua produk tersebut sangat berbeda jauh. “Untuk meyakini konsumen, Matoa berani memberi garansi ganti baru, meski rusak akibat kelalaian pembeli, selama enam bulan. Hasilnya cukup menggembirakan karena mampu terjual kurang lebih 100 unit dalam 2 hari,” sebut Lucky.

Mengenai bahan baku, Lucky mengatakan banyak menggunakan bahan baku kayu Eboni dari Makassar dan Maple dari Kanada yang sangat mudah didapat dari wilayah Jawa Barat. Sebagian kayu yang digunakan merupakan limbah industri furnitur, yang dicampur dengan kayu baru.

“Saat ini Matoa menawarkan beberapa tipe, di antaranya Flores, Sumba, Gili, Rote, Mayo, dan Jalak. Kami memiliki tim desain dari ITB, sedangkan idenya diambil dari banyak referensi mengacu pada beragam kultur lokal Indonesia. Dalam satu tahun Matoa minimal merilis dua produk baru,” jelas penghobi traveling ini.

Kisaran harga Matoa mulai dari Rp980.000 hingga Rp1.400.000 untuk edisi terbatas. Edisi ini menggunakan bahan kayu yang berbeda sebab memiliki motif dua warna pada satu batang kayu yang jarang didapat, sehingga harganya lebih mahal.

Bangkit Setelah Nyaris Bangkrut
Seperti cerita sukses pada umumnya, Lucky juga mengalami masa-masa sulit pada tahun-tahun awal memulai usaha. Hal itu lantaran ia belum bisa memproduksi jam tangan kayu sendiri sehingga harus bermitra dengan pihak lain. Apalagi latar belakang pendidikannya bukan di bidang tersebut, ditambah lagi produk yang dibuat masih tergolong baru dan masih sedikit perajin kayu di Indonesia yang mengerti dan memahaminya.

“Di tahun pertama hampir terancam bangkrut karena mitra bisnis tidak mau melanjutkan produksi dan tidak ada lagi yang mampu produksi jam tangan kayu. Setelah negosiasi akhirnya produksi diperpanjang beberapa bulan. Belajar dari pengalaman tersebut, akhirnya saya belajar dan memberanikan diri untuk memproduksi sendiri,” jelasnya.

Saat ini Lucky bukan hanya berhasil memproduksi jam tangan kayu sendiri secara keseluruhan. Dia juga berhasil mengembangkan produk lifestyle berbahan dasar kayu lainnya seperti dasi kupu-kupu kayu dan speaker kayu, bahkan sedang bersiap untuk memproduksi produk-produk furnitur dengan merek Matoa.

“Fokusnya masih di jam tangan kayu dengan menyasar target usia 20─35 dengan kelas sosial menengah atas. Kami mampu menjual sekitar 500 unit jam tangan per bulan dengan model yang paling laku adalah tipe Rote. Omzet Matoa kurang lebih sekitar Rp400 juta─Rp500 juta per bulan. Konsumen utama Matoa masih berasal dari wilayah Jabodetabek, Sumatera, dan Bali,” beber dia.

Istimewa
Selain pasar domestik, jam tangan kayu Matoa juga diminati pasar mancanegara. Bahkan 30% dari total penjualan sudah tersebar ke banyak negara melalui beberapa distributor Matoa yang berlokasi di Singapura, Jepang, Malaysia, dan Beijing.

Terserapnya produk Matoa di pasar mancanegara memang tak terlepas dari kepiawaian Lucky menjadikan kultur Indonesia sebagai selling point dan memanfaatkan strategi word of mouth marketing, sehingga merek Matoa banyak diperbincangkan orang, dengan menjadikan media sosial senjata utama dalam proses pemasaran.

Strategi lainnya yaitu gencar melakukan pameran dan kerja sama korporasi, termasuk mendekati pihak pemerintah, dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk mendukung promosi. “Kami akan terus mengembangkan titik distribusi di dalam negeri dan menambah kuota ekspor. Dari sisi produk Matoa akan mengembangkan produk open damping lain agar segera diterima pasar,” pungkas Lucky yang mendapatkan penghargaan dari pemerintah Kota Bandung sebagai Top Produk Kreatif 2015.  (Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar