Rabu, 10 Agustus 2016

Memulai Sambil Belajar



Tanpa pengetahuan dan pengalaman, Raymond berhasil mengembangkan bisnis toko elektronik yang digelutinya, bahkan meraup omzet miliaran rupiah setiap bulan. 

Sribu.com

Ada peribahasa yang mengatakan, “Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri”. Nilai yang terkandung dari pepatah ini adalah sebaik-baik negeri orang, tidak sebaik di negeri sendiri. Ini pula yang dirasakan Raymond Siswara Wong, Pendiri Arjuna Elektronik, ketika memutuskan kembali dari luar negeri dan memulai usaha di sini. 

Raymond menyeberang ke Australia pada usia 16 untuk menimba ilmu di University of Melbourne. Sukses merampungkan studi di bidang computer science dalam kurun waktu 3,5 tahun, kemudian ia pindah ke Sydney untuk bekerja di salah satu perusahaan periklanan. Namun, itu tak bertahan lama. Setelah dua tahun bekerja, ia memutuskan untuk pulang ke Indonesia pada tahun 2011. 

“Walau secara pekerjaan dan jenjang karier di Australia cukup baik, hati saya terpanggil untuk kembali ke Indonesia. Bagi saya kehidupan di sini jauh lebih enak dibanding di Australia, apalagi keluarga besar berada di sini,” jelas Raymond akan alasan kepulangannya. 

Diakui Raymond, dirinya memang sempat bingung ketika akan pulang kampung ke Indonesia, lantaran tidak tahu mau berbisnis apa. Bak gayung bersambut, di saat yang bersamaan FIF—perusahaan pembiayaan yang awalnya fokus membiayai sepeda motor—tengah masuk ke ceruk baru untuk membiayai produk-produk elektronik dengan merek Spektra.

“Bisnis orang tua di bidang dealer motor dan telah bekerja sama dengan FIF. Bila sebelumnya hanya pembiayaan sepeda motor, FIF menawarkan pembiayaan kredit elektronik. Mendengar peluang tersebut, saya langsung mengajukan pengunduran diri dari tempat bekerja. Satu bulan kemudian saya pulang ke Indonesia untuk membuka toko kredit elektronik,” tuturnya. 

Masuk ke bisnis elektronik diakui Raymond memang tanpa pengalaman sama sekali. Alhasil, ia harus mempelajari pasarnya, baik dari sisi perilaku konsumen elektronik, dan mencari pemasok produk elektronik. Setelah dipelajari, ternyata belum banyak pemain di pembiayaan elektronik yang menyasar ke segmen menengah-bawah. “Intinya mulai dulu sambil belajar,” tambahnya. 

Sebagai pemain baru di bisnis elektronik, Raymond sadar bahwa sulit untuk bersaing langsung dengan pemain yang telah eksis. Jadi, ia memposisikan usahanya sebagai toko elektronik yang konsentrasi di kredit. Meski kala itu, konsumen belum tahu bila pembelian produk elektronik bisa dicicil.

Memakai merek Raja Elektronik, Raymond memulai usahanya dengan menumpang di dealer motor sang ayah, sambil membuka tenda pameran di depan dealer, pom bensin, dan pusat belanja. Modal awalnya mencapai Rp1 miliar, dan kemudian seiring berjalannya waktu, modal ditambah lagi.

“Kami menggunakan merek Raja Elektronik hanya selama tiga bulan. Rupanya merek tersebut sudah digunakan salah satu distributor elektronik besar. Akhirnya diganti menjadi Arjuna Elektronik. Dalam pewayangan, Arjuna dikenal sebagai tokoh yang gagah, perkasa, dan impian banyak wanita. Harapannya, bisnis Arjuna Elektronik menjadi besar dan disukai pelanggan,” beber Raymond. 

Dipercaya Pemasok dan Leasing
Kendati konsumen belum teredukasi secara baik, Arjuna Elektronik tidak mengalami kendala yang signifikan dalam pemasaran karena konsumen sudah mulai familier akan sistem kredit, khususnya sepeda motor. Apalagi animo di masyarakat mengenai pembelian dengan cara angsuran sangat tinggi.

“Di bulan pertama respons dari konsumen cukup bagus. Banyak aplikasi yang masuk ke Arjuna Elektronik. Namun karena Spektra juga masih baru, banyak aplikasi yang tidak terproses. Apalagi sebelumnya dealer-dealer elektronik FIF tidak berkonsentrasi pada penjualan kredit, tetapi lebih pada penjualan tunai,” jelas dia. 

Roda bisnis Arjuna Elektronik yang bergulir cepat membuat Raymond kian optimistis. Hanya dalam hitungan bulan, toko kredit elektroniknya mulai berkembang. Bila saat memulai bisnis pada Juli 2011 ia masih nebeng dealer sang ayah, di akhir tahun 2011 Raymond sudah memiliki toko sendiri berlantai empat. 

Empat bulan kemudian, di tahun 2012, Arjuna Elektronik sudah memiliki showroom pertama Ruko Taman Palem Lestari, Cengkareng, Jakarta Barat. Bahkan sampai akhir tahun 2012 sudah ada 12 titik pameran. Setahun kemudian, Raymond melebarkan sayap ke Karawaci, Tangerang, dengan membuka showroom kedua. “Produk yang pertama kali dipasarkan meliputi TV, kulkas, mesin cuci, dan AC,” ujar dia. 

Dalam perjalanannya jumlah kategori produk juga bertambah, meliputi laptop, handphone, kamera, audio system, dan peralatan rumah tangga. Awalnya produk elektronik didapat dari toko eceran dan grosir. Kemudian pada tahun 2012, ATPM produk LG masuk karena percaya dengan konsep toko Arjuna Elektronik. 

“Setelah produk LG masuk di toko kami, satu per satu ATPM elektronik lain berdatangan menawarkan produknya. Dulu kami yang cari, sekarang mereka yang datang. Saat ini kami telah bermitra dengan 11 ATPM, meliputi LG, Polytron, Sharp, Samsung, Daikin, Asus, Acer, dan lainnya,” ungkap Raymond. 

Sekarang, selain dipercaya kalangan pemasok elektronik, Arjuna Elektronik juga sudah dipercaya sejumlah perusahaan leasing seperti FIF, Kredit Plus, Aeon, dan Home Credit.

Garap Pasar Online dan Tunai
Kondisi pasar yang lesu juga berdampak terhadap perkembangan bisnis Arjuna Elektronik. Pada tahun 2015, Raymond mulai mengubah strategi pemasarannya dengan mengurangi jumlah toko dari belasan menjadi tiga toko. Di samping itu ia juga memanfaatkan era digital melalui toko online www.arjunaelektronik.com yang telah dikembangkan sejak tahun 2012. 

“Pengguna Arjunaelektronik.com diperkirakan mencapai 100 ribu. Sementara pengunjungnya bisa mencapai sekitar 8.000 per hari, dan dalam sehari ada sekitar 200 e-mail yang tertarik untuk mengajukan kredit,” sebut dia. 

Selain masuk ke pasar online, Raymond juga mengubah model bisnis yang tadinya hanya merupakan toko elektronik yang melayani penjualan kredit, menjadi toko elektronik yang melayani pembelian kredit dan tunai. Hal itu dilakukan mengingat pasar kredit elektronik tidak sampai 5%. 

“Untuk berkembang, perusahaan harus berevolusi. Jadi, tidak ada salahnya masuk ke pasar tunai juga. Pembelian ini diterapkan di toko online Arjuna Elektronik dan marketplace, seperti Lazada, Elevania, Blibli, Bukalapak, Tokopedia, Bhinneka,” imbuhnya. 

Saat ini kontribusi penjualan Arjuna Elektronik sebanyak 90% berasal dari online. Dari total tersebut, penjualan toko online dan marketplace berimbang sebesar 50:50. (Moh. Agus Mahribi, telah dimuat di Majalah MARKETING Edisi Mei 2016)

Usung Konten Tekstil Lokal

Berawal dari keinginan membuat busana untuk sang buah hati agar terlihat keren namun tetap berkonsep muslim. Kini Herlina mampu meraup omzet puluhan juta rupiah dari bisnis busana muslim kasual anak. 

Ide bisnis bisa datang dari mana saja dan kapan saja. Tidak menutupi kemungkinan hal-hal yang tak pernah terpikirkan oleh sebagian orang pada umumnya. Tengok saja pengalaman Herlina Trisnaningsih yang masuk ke bisnis pakaian muslim anak lantaran memiliki pengalaman kesulitan menemukan baju muslim kasual yang cocok, nyaman, unik, dan kekinian untuk sang buah hati. 

Berangkat dari pengalaman tersebut, Herlina mulai mendesain berbagai jenis baju muslim yang lebih kasual, tidak sekadar bisa dipakai saat mengaji, tetapi dapat dikenakan untuk segala acara. Tak hanya itu, ia pun berhasil membuat terobosan dengan mengubah model busana muslim anak yang kaku menjadi lebih trendi, dengan mengaplikasikan berbagai jenis kain tradisional seperti batik, tenun, maupun songket.

Sebelum menggeluti bisnis pakaian muslim anak, Herlina menceritakan sebenarnya ia sudah menjalankan usaha jual baju sisa ekspor secara online. Namun, keterbatasan stok dan ukuran membuatnya kesulitan memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Dari situ timbul ide untuk memproduksi dan memasarkan baju anak dan aksesori busana anak dengan merek Little Zee.

“Saya masuk ke bisnis pakaian anak karena ingin memiliki usaha yang sesuai dengan passion. Tidak terikat waktu, bisa sambil mengurus rumah tangga dan anak, sekaligus mandiri dan bisa bermanfaat untuk banyak orang. Target bisa mengembangkan usaha dengan memiliki distributor dan reseller di seluruh Indonesia,” kata Herlina. 

Pemilihan nama “Little Zee” sebagai merek disebut perempuan yang akrab disapa Erlin ini, karena mengandung filosofi bahwa memulai usaha dari yang kecil dan dari belakang (Z huruf paling akhir). Dengan harapan sembari belajar bisa menjadi besar dan memimpin di bisnis busana muslim anak di masa mendatang. 

Produksi pertama Little Zee berupa baju gamis set jilbab dengan aplikasi kain perca buatan tangan (handmade), ditambah tali-tali dari bahan katun. Produk perdana tersebut mampu menarik konsumen, khususnya para ibu. Yang menarik, koleksi busana muslim kasual Erlin tak hanya diminati konsumen dalam negeri, konsumen dari negeri tetangga pun turut kepincut. 

Menurut Erlin, produk Little Zee cukup diminati konsumen karena modelnya yang unik dan menarik. Apalagi ia sendiri telah memiliki pangsa pasar yang telah terbentuk dari hasil usaha baju anak sisa ekspor, yang tersebar di beberapa wilayah. “Little Zee menyediakan busana muslim anak dari usia 1─12 tahun,” sebut dia. 

Seiring berjalannya waktu, koleksi pakaian anak Little Zee terus bertambah. Beragam baju kasual anak yang ditawarkan mulai dari celana, rok, baju atasan, outer, mini dress, long dress, gaun pesta, bahkan kebaya dan rok etnik, yang jika dipadu padankan tetap bisa untuk tampilan kasual muslim. Untuk ide desainnya, Little Zee mengikuti ramalan tren dari asosiasi desainer. Namun, tetap disesuaikan dengan keinginan pasar terkini. 

“Soal tren model, Little Zee lebih fokus pada kenyamanan, kesederhanaan, dan keunikan desain. Setiap bulan ada produk baru sekitar lima item. Bila ada kegiatan besar di toko seperti tahun baru, imlek dan hari raya, termasuk kegiatan pameran, akan dikeluarkan lebih banyak desain baru,” terangnya. 

Promosi dan Pemasaran
Dalam membangun merek Little Zee supaya dikenal konsumen, di awal usaha, Erlin memanfaatkan media online, yakni website dan Facebook. Cara ini dianggap efektif karena tidak memerlukan biaya besar, namun memiliki dampak yang cukup signifikan. Terbukti di bulan pertama berhasil terjual 50 set baju muslim untuk konsumen dari Singapura, melalui Alibaba.com.

Sukses di ranah online, baju muslim buatan Erlin dilirik oleh retail modern terkemuka. Saat ini produk Little Zee dapat ditemukan di department store seperti Metro dan Sogo, de Moss—toko busana muslim besar di Bandung, hingga butik Adrevi di Makassar. “Kami membidik konsumen menengah ke atas dengan harga baju muslim kisaran harga Rp150.000–Rp650.000 per piece,” ungkap Erlin. 

Dalam sebulan dia mengaku dapat menjual setidaknya 250 pieces dan meraup omzet sekitar Rp50 juta dengan pembeli yang berasal dari kota-kota besar di Indonesia, seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Bali, Semarang, Batam, Medan, Aceh, Riau, Banjarmasin, dan Makassar. 

“Permintaan terbanyak biasanya terjadi jelang Lebaran dan akhir tahun dengan peningkatan 4─5 kali lipat. Kontribusi penjualan offline sebesar 75%, sedangkan online melalui website dan media sosial mencapai 25%,” kata penghobi olahraga renang tersebut. 

Menyoal target pengembangan bisnis, Erlin ingin terus menambah model dan varian produk Little Zee, misalnya tas, sepatu, dan aksesori anak. Selain itu, dirinya menargetkan akan membuka lebih banyak counter di jaringan Metro dan Sogo department store supaya merek Little Zee lebih kuat dan dikenal masyarakat luas. (Moh. Agus Mahribi, telah dimuat di Majalah MARKETING Edisi Juli 2016)

Senin, 04 April 2016

Belajar dari Pengalaman


Jatuh bangun dalam berbisnis sudah biasa dialami Yasa Paramita Singgih. Kini namanya turut menghiasi jajaran nama pengusaha muda sukses di Tanah Air.


Siapa pun bisa menjadi pengusaha tanpa ada batasan usia, pendidikan, ataupun jenis kelamin. Keberhasilan berwirausaha adalah milik mereka yang mau bekerja keras, tekun, dan sabar. Yasa Paramita Singgih merupakan salah satu contoh nyata pengusaha yang sukses di usia muda. Bahkan cerita suksesnya telah dibuat film dokumenter Pemimpin Muda dalam Dunia Bisnis yang diinisiasi Kemenpora.

Sukses menjadi pengusaha memang tak pernah direncanakan Yasa, namun jalan hiduplah yang menuntun dia untuk bergelut di dunia bisnis. Faktor ekonomi dan keadaan orang tua yang sedang sakit membuat ia harus bekerja guna mendapatkan penghasilan. “Saya memutuskan mencari uang sendiri sejak usia 15 tahun karena membutuhkan uang untuk biaya operasi ayah yang sedang sakit,” Yasa bercerita.

Untuk mendapatkan uang, beragam pekerjaan pernah dilakoni Yasa, mulai dari kerja serabutan, menjadi MC, hingga bekerja di sebuah EO. Tepat di usia 16 tahun atau masih duduk di kelas 1 SMU, Yasa pun memberanikan diri untuk terjun ke bisnis kaus dengan memproduksi sendiri. Namun, ternyata bisnis yang digelutinya gagal total.

Tak patah arang, Yasa terus mencoba berbisnis kaus dengan menjadi reseller dari pedagang-pedagang di Tanah Abang dan memasarkannya secara online. “Barangnya ambil dulu dari pedagang di sana, kalau laku baru dibayar. Responsnya sangat bagus, baju modal Rp30.000 bisa dijual dengan harga Rp90.000─Rp120.000. Kuncinya saat itu adalah membuat foto produk yang sangat menarik dan kelihatan mahal,” jelas dia.

Keinginan Yasa untuk menekuni bisnis kaus kian hari makin kuat, sehingga ia memutuskan untuk membuat merek sendiri dengan nama Men’s Republic. Pertimbangan fokus membidik pria sebagai segmen pasar karena selama ini ia banyak mengambil kaus-kaus pria dari pedagang Tanah Abang dan sudah memiliki beberapa pelanggan loyal.

Diakui Yasa memang daya beli pria tidak sebesar wanita. Namun, permintaan produk pria tidak serumit produk wanita yang terlalu banyak mode dan cepat berganti tren. Selain itu menghadapi pelanggan pria jauh lebih mudah dan menyenangkan daripada pelanggan wanita yang banyak pertimbangan dan menawar harga.

Ternyata merek Men’s Republic berkembang sangat cepat. Bila awalnya hanya fokus memproduksi kaus, sekarang sudah masuk ke produk pakaian khusus pria. “Saat ini Men’s Republic memiliki produk pakaian mulai dari kaus, jaket, sandal, sampai sepatu. Segmen pasar Men’s Republic adalah pria kelas menengah dengan target usia 17─25 tahun, serta melek media sosial,” sebut Yasa.

Pertimbangan lain menyasar kaum pria, Yasa melihat banyak merek lokal produk pria harganya tidak masuk akal untuk kalangan kelas menengah. Ceruk inilah yang coba digarapnya dengan memberikan pilihan menarik bagi pria kelas menengah, yaitu produk berkualitas dan model premium namun harga sangat terjangkau.

Harga pakaian dipasarkan mulai dari Rp100.000─Rp350.000, untuk sepatu mulai dari Rp200.000–Rp450.000. “Dalam sebulan kami bisa menjual sekitar 500 pasang sepatu dengan model kasual yang paling laku, sedangkan untuk pakaian sekitar 150 produk dengan omzet mencapai Rp100 juta–Rp150 juta,” ungkap mahasiswa Bina Nusantara University jurusan Marketing Communication ini.

Konsumen Men’s Republic terbanyak masih berasal dari Jabodetabek, namun banyak juga dari kota besar lainnya seperti Bandung, Pontianak, Medan, Denpasar, Samarinda. Bahkan dengan dukungan perkembangan dunia online, Men’s Republic sudah dipasarkan sampai ke Hong Kong, Macau, dan Malaysia.

Soal strategi pemasaran, Yasa lebih mengutamakan pemasaran online di media sosial dan website. Namun, ia tidak meninggalkan kegiatan offline dengan rutin hadir setiap bulannya di bazar pusat perbelanjaan di Jakarta. Termasuk memanfaatkan reseller yang jumlahnya sudah lebih dari 120 reseller. Strategi ini cukup berhasil sebab satu reseller mampu mendapatkan omzet jutaan rupiah per bulan.

Di masa mendatang, Yasa akan melengkapi varian produk Men’s Republic lebih banyak lagi. Saat ini dirinya sedang memproyeksikan pembuatan celana jeans dan chino serta dompet khusus pria. Termasuk meningkatkan jumlah reseller resmi yang disebut ARMY (Authorized Reseller of Men’s Republic).

Keberhasilan Yasa memasarkan produk lantaran kepiawaiannya dalam memberikan nilai tambah bagi produk yang ditawarkan. “Kami mau Men’s Republic bukan hanya dikenal sebagai merek yang menyediakan produk fashion pria, tetapi menjadi gaya hidup para pria melalui produk yang simple, excellence, dan gentlemen,” tegas dia.

Itu dibuktikan dari warna dan desain yang sangat simple dan bermain di warna gelap saja. Soal ide desain biasanya “nyontek” dari merek luar negeri, kemudian dimodifikasi dan diubah modelnya, disesuaikan dengan konsep merek Men’s Republic oleh bagian produksi. Dalam satu tahun dapat dihasilkan sekitar 100 desain baru untuk seluruh produk.

Nilai tambah lain yang ditawarkan adalah kualitas yang sangat prima dengan memberikan jaminan garansi sepatu kembali, boleh tukar dan cash back apabila dirasa produk tidak cocok. Sementara untuk mengasosiasikan Men’s Republic sebagai merek gentlemen, dilakukan kampanye melalui media sosial seputar tips-tips khusus pria, hubungan cinta, ataupun karier.

“Ternyata edukasi ini sangat disenangi oleh follower dan menjadi viral setiap harinya. Kami juga sedang merencanakan kegiatan seperti seminar publik yang diadakan oleh Men’s Republic dengan tema Gentlemen, Relationship & Career,” ungkap Yasa. (Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi

Jam Kayu dari Kota Priangan


Lucky Dana Aria berhasil menyulap limbah kayu menjadi jam ramah lingkungan (eco watch) dengan omzet ratusan juta rupiah.

Istimewa
Rasanya tak berlebihan bila Kota Bandung dijuluki sebagai kota kreatif. Pasalnya, sejak dulu Kota Kembang ini telah banyak menghasilkan entrepreneur yang kreatif dan inovatif di bidang fashion, mode, seni, dan budaya. Salah satunya Lucky Dana Aria, anak muda kreatif asal Bandung yang menghasilkan karya unik berupa jam tangan kayu.

Lucky mulai menggeluti bisnis jam tangan kayu sejak tahun 2011 lalu. Kala itu, ia tertarik dengan keunikan jam tangan kayu miliknya yang dibuat di Amerika Serikat. Setelah dipelajari, ternyata bahan kayunya berasal dari Indonesia dan dipasarkan lagi ke Indonesia. “Dari situ timbul ide untuk membuat jam tangan kayu, apalagi bahan kayunya banyak tersedia di sini,” ujarnya bercerita.

Bermodalkan dana yang terbilang sangat minim dan keterbatasan pengetahuan, Lucky mencoba melakukan riset sederhana selama setahun dengan menerapkan prinsip ATM (amati, tiru, dan modifikasi). Konkretnya ia rela membongkar jam tangan kayu miliknya untuk mengetahui teknik mesin dan segala detail cara pembuatannya sekaligus mencari celah untuk melakukan inovasi.

“Modal utamanya hanya ide dan eksekusi. Inovasi adalah proses lanjutan setelah adanya ide, untuk kemudian menjadi sebuah eksekusi. Diproduksinya satu tahun kemudian pada tahun 2012 karena susah mencari perajin yang mampu membuat jam tangan kayu,” terang pria kelahiran Bandung, 23 Maret 1986 tersebut.

Meski berhasil memproduksi jam tangan kayu, Lucky menyadari produk besutannya memerlukan merek agar dikenal dan mudah untuk dipasarkan. Akhirnya, ia memilih menggunakan nama Matoayang merupakan nama salah satu pohon khas Indonesia yang tumbuh besar dan tinggi di daratan Papua.

Pemilihan merek juga didasari pengalaman Lucky yang sudah beberapa kali mencoba membuat merek dan usaha. Tapi dari semua merek yang dibuat, tidak ada yang diingat oleh konsumen. Maka sejak saat itu ia berpikir untuk membuat sebuah merek yang mudah diingat, harus unik, dan original.

“Filosofi pohon Matoa diharapkan bisa menjadi representasi bisnis Matoa ke depan supaya menjadi besar dan memimpin di bisnis produk lifestyle berbahan dasar kayu. Saat ini merek Matoa tidak akan salah ucap oleh orang dari negara mana pun. Begitu pula ketika orang dari negara lain mencari tahu apa arti Matoa, yang pertama kali muncul adalah Indonesia,” jelas Lucky.

Produk Matoa yang pertama kali dibuat adalah tipe Rote berbentuk kotak dengan bahan kayu Eboni Makassar dan Maple Kanada yang dipasarkan di sebuah pameran di Jakarta. Pada pameran tersebut, konsumen masih bingung dan ragu dengan jam tangan kayu Matoa karena dibanderol dengan harga yang cukup tinggi, sebesar Rp890.000.

Konsumen masih banyak membandingkan jam tangan kayu dengan gelang kayu yang bisa didapatkan dengan harga di bawah Rp10.000, padahal tingkat kerumitan dua produk tersebut sangat berbeda jauh. “Untuk meyakini konsumen, Matoa berani memberi garansi ganti baru, meski rusak akibat kelalaian pembeli, selama enam bulan. Hasilnya cukup menggembirakan karena mampu terjual kurang lebih 100 unit dalam 2 hari,” sebut Lucky.

Mengenai bahan baku, Lucky mengatakan banyak menggunakan bahan baku kayu Eboni dari Makassar dan Maple dari Kanada yang sangat mudah didapat dari wilayah Jawa Barat. Sebagian kayu yang digunakan merupakan limbah industri furnitur, yang dicampur dengan kayu baru.

“Saat ini Matoa menawarkan beberapa tipe, di antaranya Flores, Sumba, Gili, Rote, Mayo, dan Jalak. Kami memiliki tim desain dari ITB, sedangkan idenya diambil dari banyak referensi mengacu pada beragam kultur lokal Indonesia. Dalam satu tahun Matoa minimal merilis dua produk baru,” jelas penghobi traveling ini.

Kisaran harga Matoa mulai dari Rp980.000 hingga Rp1.400.000 untuk edisi terbatas. Edisi ini menggunakan bahan kayu yang berbeda sebab memiliki motif dua warna pada satu batang kayu yang jarang didapat, sehingga harganya lebih mahal.

Bangkit Setelah Nyaris Bangkrut
Seperti cerita sukses pada umumnya, Lucky juga mengalami masa-masa sulit pada tahun-tahun awal memulai usaha. Hal itu lantaran ia belum bisa memproduksi jam tangan kayu sendiri sehingga harus bermitra dengan pihak lain. Apalagi latar belakang pendidikannya bukan di bidang tersebut, ditambah lagi produk yang dibuat masih tergolong baru dan masih sedikit perajin kayu di Indonesia yang mengerti dan memahaminya.

“Di tahun pertama hampir terancam bangkrut karena mitra bisnis tidak mau melanjutkan produksi dan tidak ada lagi yang mampu produksi jam tangan kayu. Setelah negosiasi akhirnya produksi diperpanjang beberapa bulan. Belajar dari pengalaman tersebut, akhirnya saya belajar dan memberanikan diri untuk memproduksi sendiri,” jelasnya.

Saat ini Lucky bukan hanya berhasil memproduksi jam tangan kayu sendiri secara keseluruhan. Dia juga berhasil mengembangkan produk lifestyle berbahan dasar kayu lainnya seperti dasi kupu-kupu kayu dan speaker kayu, bahkan sedang bersiap untuk memproduksi produk-produk furnitur dengan merek Matoa.

“Fokusnya masih di jam tangan kayu dengan menyasar target usia 20─35 dengan kelas sosial menengah atas. Kami mampu menjual sekitar 500 unit jam tangan per bulan dengan model yang paling laku adalah tipe Rote. Omzet Matoa kurang lebih sekitar Rp400 juta─Rp500 juta per bulan. Konsumen utama Matoa masih berasal dari wilayah Jabodetabek, Sumatera, dan Bali,” beber dia.

Istimewa
Selain pasar domestik, jam tangan kayu Matoa juga diminati pasar mancanegara. Bahkan 30% dari total penjualan sudah tersebar ke banyak negara melalui beberapa distributor Matoa yang berlokasi di Singapura, Jepang, Malaysia, dan Beijing.

Terserapnya produk Matoa di pasar mancanegara memang tak terlepas dari kepiawaian Lucky menjadikan kultur Indonesia sebagai selling point dan memanfaatkan strategi word of mouth marketing, sehingga merek Matoa banyak diperbincangkan orang, dengan menjadikan media sosial senjata utama dalam proses pemasaran.

Strategi lainnya yaitu gencar melakukan pameran dan kerja sama korporasi, termasuk mendekati pihak pemerintah, dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk mendukung promosi. “Kami akan terus mengembangkan titik distribusi di dalam negeri dan menambah kuota ekspor. Dari sisi produk Matoa akan mengembangkan produk open damping lain agar segera diterima pasar,” pungkas Lucky yang mendapatkan penghargaan dari pemerintah Kota Bandung sebagai Top Produk Kreatif 2015.  (Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi)


Raup Ratusan Juta dari Modal Kecil

Istimewa
Memulai bisnis dengan keterbatasan modal, kini Rusdi Raisa telah menjelma sebagai pengusaha produk fashion yang mampu menembus pasar mancanegara.

“Kesuksesan tidak akan pernah datang jika hanya duduk berdiam diri”. Kata-kata inilah yang memotivasi Rusdi dalam menjalankan usahanya.Meski tidak memiliki modal yang besar, pria asal Garut ini berani memulai usaha produk kerajinan kulit di tengah persaingan yang ketat.

Menggeluti bisnis produk kulit sudah dilakoni Rusdi sejak dirinya masih mengenyam pendidikan di Teknik Planologi, Universitas Islam Bandung, pada tahun 2006 lalu. Kala itu, ia gemar menggunakan produk kulit, kemudian belajar untuk menjahit sendiri. Tak dinyana, produk kulit yang digunakan cukup menarik orang di sekelilingnya, bahkan mereka mulai tertarik untuk memesan dan membeli.

“Saat memulai usaha yang terpikir di benak saya sangat sederhana, hanya mau mendapatkan uang untuk makan sehari-hari dan biaya supaya bisa melanjutkan kuliah. Upaya yang dilakukan adalah menjual tempat ponsel yang unik dari bahan kulit karena bisnis ini menjadi peluang mendapatkan penghasilan,” Rusdi bercerita.

Modal yang dimiliki Rusdi pun tergolong sangat terbatas, yakni uang sebesar Rp50.000 yang digunakan untuk belanja kulit limbah sisa potongan sebanyak 2 kilogram dan alat jahit tangan. Berkat  kreativitasnyakulit limbah tersebut “disulap” menjadi 70 tempat ponsel yang dijual seharga Rp50.000 per satuan.

“Saya meyakini bisnis yang sukses bukanlah tentang modal yang besar. Lebih penting dari itu adalah kemauan, keyakinan, dan ketekunan dalam menjalankan bisnis,” ungkap Rusdi.

Sebagaimana lazimnya memulai usaha, pada awalnya Rusdi sulit menjual tempat ponsel. Itu pun hanya terjual sekitar 1 lusin di bulan pertama. Setelah sebulan barulah tempat ponselnya habis terjual dan menghasilkan keuntungan, yang kemudian diputar untuk mencari usaha yang lebih menjanjikan keuntungan lebih besar.

Setelah melakukan eksplorasi beberapa produk berbahan kulit, pada tahun 2009, ia memutuskan untuk fokus memproduksi tas kulit dengan merek D’Russa yang merupakan singkatan dari namanya, Rusdi Raisa. “Sekarang kami fokus di produksi tas, dompet, aksesori, beserta suvenir untuk perusahaan baik luar maupun dalam negeri,” sebut dia.

Produk tas dijual Rusdi mulai dari harga Rp650 ribu sampai Rp7 juta, dompet dari Rp350 ribu sampai Rp650 ribu, sedangkan aksesori dibanderol dari Rp100 ribu sampai Rp250 ribu. Sementara model tas yang diproduksi terinspirasi dari tas-tas zaman dahulu yang sering digunakan tukang pos, masyarakat Eropa dan Amerika tahun 1930 sampai 1980-an.

“D’Russa membidik segmen pasar kelas menengah ke atas. Kalau harga yang dipatok cukup tinggi, itu karena bahan bakunya saja sudah mahal dengan menggunakan kulit pull up kualitas premium. Setiap tahunnya dikeluarkan sekitar 6–7 model tas baru yang menonjolkan tema klasik dengan motif simpel elegan sebagai karakter produk D'Russa,” terangnya.

Kerja keras Rusdi dalam membangun fondasi bisnisnya terbayar sudah. Produk yang dibesutnya sekarang sudah mendapat tempat di hati konsumen dalam negeri, bahkan sudah diekspor ke beberapa negara meski masih dalam skala kecilkarena menyesuaikan dengan kemampuan produksi. 

Istimewa
Dalam sebulan D’Russa mampu menjual sekitar 700 dompet, 250 tas, dan 1.200 aksesori dengan omzet rata-rata Rp300 juta–Rp400 juta. Rusdi memasarkan produknya melalui dua toko di Jakarta, yaitu di Epiwalk Kuningan dan Tebet Green Mall, serta melakukan pemasaran online melalui website dan media sosial.

“Komposisi penjualan D’Russa 70% offline dan 30% online. Sekarang saya sedang fokus pemasaran di Jepang. Mimpi saya nanti bisa membuka toko di Bali dan kemudian Australia,” ujar Rusdi.

Kendati sudah melakukan ekspor, Rusdi mengakui tidak semua hasil karyanya menggunakan merek D’Russa. Sebagian besar produknya akan dilabeli dan dipasarkan dengan merek pembelinya, bahkan pernah digunakan beberapa merek ternama di luar negeri.

“Melihat peluang yang ada, pengembangan D’Russa mendatang akan lebih difokuskan pada produksi atau pabrikasi karena hampir 60% produksi digunakan untuk memenuhi permintaan merek lain dan perusahaan lain, sedangkan untuk D’Russa sendiri hanya 40%,” ungkap penghobi sepeda dan mancing ini.

Untuk menjaga reputasi merek D’Russa, sejak awal merintis usaha, Rusdi terus berusaha meningkatkan kualitas agar produk kerajinan kulitnya diakui dan diterima pasar baik dalam negeri maupun mancanegara. Caranya dengan pemilihan material yang berkualitas dan servis produk, bahkan berani memberikan garansi dengan rentang masa 1–5 tahun.

Selain itu, Rusdi juga gencar berpromosi, baik dari mulut ke mulut dan media sosial, termasuk mengikuti pameran di wilayah yang berpotensi baik di dalam dan luar negeri. Di antaranya adalah pameran Inacraft, Smesco, serta event Jakarta Clothing (Jakcloth) yang rutin diadakan di Jakarta setiap tahun. (Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi)


Mulai Dulu Baru Sempurnakan


Kredibilitas yang dibangun melalui sebuah konsistensi dan filosofi yang terus terjaga, membawa Cover Super tumbuh dari skala garasi menjadi skala pabrik.


Kerja keras, ketekunan, dan kegigihan saja tidak cukup bagi pebisnis untuk meraih sukses, dibutuhkan kejelian mencari peluang bisnis yang potensial dan menjanjikan keuntungan. Upaya ini pula yang dilakukan Zulkhan Indra Putra ketika merintis bisnis sarung pelindung (cover) kendaraan pada tahun 2012 lalu.

Kala itu, Zulkhan bersama empat rekannya mencari peluang bisnis yang potensi pasarnya besar, tetapi masih belum banyak pemain (blue ocean). Setelah mempelajari berbagai peluang yang ada, akhirnya mantap dipilih bisnis sarung pelindung kendaraan. “Ada kurang lebih 120 juta kendaraan di Indonesia. Jumlahnya akan bertambah sekitar 20 ribu unit setiap bulannya,” sebut dia.

Sadar memiliki modal terbatas, ia memulai dengan skala yang sangat kecil dengan kantor di garasi rumah. Diawali dengan membeli bahan sebanyak 10 meter yang diserahkan ke penjahit untuk dibentuk cover motor sesuai desain yang diinginkan. Kemudian hasilnya dijual di pinggir jalan dengan banner ukuran besar, menyasar konsumen hanya wilayah Yogyakarta.

“Yang penting memulai dulu, sempurna sambil jalan dengan menerapkan filosofi ‘kaizen’, yakni perbaikan berkesinambungan dalam berbisnis. Artinya, segera mulai dulu kemudian disempurnakan. Bukan sempurna dulu, baru mulai. Agar cepat sempurna, perbaikannya harus sangat cepat,” jelasnya.

Dalam menjalankan bisnisnya Zulkhan memilih menggunakan nama usaha dengan label Cover Super supaya mudah dikenal konsumen dan merupakan penjabaran dari kualitas produk yang dimiliki. Proses pemilihan nama juga tergolong cepat sekali, tidak sampai dua jam, karena tidak ingin lama dalam persiapan masuk ke bisnis.

Sambutan dari pasar cukup baik mengingat produk cover motor yang ditawarkan masih tergolong membidik segmen baru. “Respons konsumen cukup bagus, banyak yang tidak menyangka ada cover motor berdesain stylish dengan warna lebih atraktif yang lazimnya hanya didapati pada desain cover mobil,” ujarnya.

Naik Level
Tak membutuhkan waktu lama, Cover Super terus berkembang dan merambah ke produk lainnya. Selain cover motor dan cover mobil yang merupakan produk utama, Cover Super juga memproduksi cover tas ransel, cover tas wanita, cover sepeda, dan cover setir, termasuk membuat cover kendaraan secara custom jika ada permintaan dalam jumlah besar.

Segmen yang dibidik adalah pemilik kendaraan, baik motor, mobil, serta sepeda, yang cenderung lebih sayang dengan kendaraannya. Selain ke end-user, dibidik juga pasar korporasi tertentu yang membutuhkan cover pelindung, seperti dealer yang memesan cover untuk motor ataupun mobil. Bahkan pernah ada perusahaan yang meminta pembuatan cover kapal untuk armada kapalnya.

Harga yang ditawarkan pun kompetitif. Cover motor dijual dengan harga Rp120.000, cover mobil dimulai dengan harga Rp320.000, cover tas harga mulai Rp50.000, dan cover sepeda seharga Rp120.000. “Produk yang paling laris adalah cover motor dan cover mobil. Untuk cover motor saja, setidaknya dapat terjual rata-rata sekitar 12.000 unit per bulan. Dengan jumlah produksi dan penjualan saat ini, kami sudah bisa keluar dari skala UMKM,” kata Zulkhan.

Moleknya penjualan Cover Super memang tak terlepas dari perbaikan berkesinambungan yang dilakukan Zulkhan dan rekan-rekannya untuk menghasilkan produk berkualitas dan berbeda, sehingga produk Cover Super memiliki dua keunggulan umum, yaitu kualitas dan desain produksi. Dari segi kualitas, digunakan bahan yang lebih kuat, tidak gampang robek, dan tidak meleleh terkena knalpot, sehingga lebih awet dan bisa diandalkan supaya konsumen puas.

“Desain adalah keunggulan yang paling menonjol. Saat membuat produk baru, prinsipnya adalah be first or be better. Biarpun tergolong minim pesaing, produk cover motor dan cover mobil ini bukan yang pertama di Indonesia. Karena itu harus lebih baik mencoba melakukan penyempurnaan dan memberi pilihan warna yang elegan,” jelasnya.

Fokus di Online
Satu hal yang menunjang kesuksesan produk adalah strategi dalam memasarkan. Bisa dikatakan bahwa strategi pemasaran merupakan kunci utama dalam membuka pintu kesuksesan sebuah usaha. Strategi pemasaran online pun dipilih Zulkhan yang melihat fenomena maraknya belanja online. Apalagi pemasaran online memiliki biaya rendah dan sudah terbukti efektif membantu pebisnis mendongkrak penjualan.


Simpelnya, hanya lewat media online-lah kreativitas bisa mengalahkan modal besar. Jika pemasar kreatif, konten yang dibuat di media online bisa tersebar ke masyarakat luas dengan biaya rendah, bahkan bisa dibilang tanpa modal. Media online juga sangat cocok untuk bereksperimen dan memperbaiki materi promosi dengan cepat, tidak seperti iklan TV atau iklan koran yang saat sudah tayang tidak bisa direvisi.

“Sekali lagi, kecepatan dan perbaikan (kaizen) adalah budaya dasar kami. Strategi komunikasi yang dibuat tidak yang panjang lebar. Sebelum eksekusi, cukup analisis sederhana, posting, revisi lagi, posting, revisi lagi. Gaya ini hanya bisa diakomodir oleh media online. Hasilnya sangat baik untuk penjualan dan proses membangun merek Cover Super,” bebernya.

Cover Super juga ditunjang oleh online store besar yang ada di Indonesia. Hampir semua online shopping mall besar menjadi jaringan Cover Super. Misalnya Blibli.com, Lazada, MatahariMall, Dinomarket, Bhinneka, serta marketplace besar seperti Bukalapak dan Tokopedia. Selain memasarkan secara online, Cover Super pun menggandeng para agen dan distributor yang sudah ada di 90 kota di seluruh Indonesia. Agen inilah yang memasarkan ke jaringan online dan offline-nya di kota masing-masing.

“Para agen membantu mengenalkan Cover Super di kota mereka. Kami sadar sekali dengan kontribusi mereka. Supaya kerja sama selalu erat, selain berhubungan secara profesional, kami pun selalu memberi sentuhan personal. Konkretnya tidak hanya mencatat tanggal ulang, kadang kami memantau ‘status’ mereka di media sosial untuk memberi kejutan. Misal ada yang anaknya sakit, anaknya khitan, istrinya melahirkan, ataupun berangkat haji, kami mengirim bingkisan disertai kartu ucapan. Ini sangat efektif dalam membangun kepercayaan,” pungkas Zulkhan. (Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi)

Anut Filosofi Bisnis 1001

Andris Wijaya berupaya memopulerkan kembali beras Garut dengan cara yang lebih inovatif melalui pengembangan nasi liwet instan dan restoran.

Banyak entrepreneur sukses yang mengikuti jejak bisnis orang tuanya, bahkan mewarisi bisnis yang telah dirintis orang tuanya. Sebut saja Andris Wijaya yang meneruskan usaha beras curah milik ayahnya, almarhum H. Dedi Mulyadi, dengan merek beras Garut 1001 (Seribu Satu) yang sudah dirintis sejak tahun 1975.



Kala mengambil alih usaha beras Garut 1001 pada tahun 2001, Andris mengalami banyak kesulitan lantaran tidak memiliki pengalaman sama sekali tentang usaha beras. Apalagi latar belakang pendidikan teknologi energi yang digenggamnya tidak berkorelasi dengan bisnis yang dia geluti.

“Awal-awal menjalankan usaha sering tertipu rekan bisnis. Bukan keuntungan yang didapat malahan modal semakin berkurang. Padahal saya mempunyai kewajiban membayar utang yang jumlahnya mencapai Rp200 juta. Kondisi tersebut membuat saya frustasi. Sampai terbesit keinginan untuk mundur dan menjual pabrik penggilingan beras,” kenang Andris.

Dalam kondisi tertekan, Andris teringat akan filosofi yang ditanamkan almarhum ayahnya, mengenai merek 1001. Merek ini mengandung filosofi sesuatu yang baik dan mendekati kesempurnaan yang biasanya langka. Di antara 1.000 cuma ada 1 yang istimewa. Dari situ dia berpikir merek 1001 harus memiliki perbedaan dari pemain beras lainnya agar menjadi istimewa.

Bermodalkan keilmuannya di bidang teknologi energi, Andris bersama kakaknya mencoba memodifikasi mesin yang bisa menggiling sekaligus mencuci, termasuk mengubah sistem penggilingan beras dari 1 kali menjadi 3 kali. Walhasil, beras yang diproduksi lebih putih, mulus, dan bersih. Inilah keunggulan dan diferensiasi beras produksi 1001 sehingga memiliki nilai jual lebih dibanding pesaingnya.

“Ketika dijual ke Jakarta ternyata beras 1001 harganya lebih mahal Rp1.000 dibandingkan beras asal Garut lainnya. Dari situ perusahaan mulai bangkit, dan permintaan semakin meningkat. Bahkan ada distributor besar di Jakarta yang meminta 1001 menjadi pemasok tetap beras Garut,” ujar alumnus Fakultas Teknik Energi Politeknik Negeri ITB.

Beri Nilai Tambah
Kendati beras curah asal Garut, khususnya 1001, sudah mulai diterima pasar dan dihargai lebih tinggi, popularitas beras Garut masih kalah dibandingkan beras asal daerah lain, seperti Cianjur. Apalagi para agen di Jakarta masih bertindak curang, mengganti karung beras pasokannya dengan karung merek lain.

Melihat kenyataan tersebut Andris merasa miris dan bertekad mengangkat beras asal Garut agar lebih dikenal konsumen. Beberapa eksperimen dan penelitian pun dilakukan untuk menemukan inovasi baru, yaitu mengubah beras yang tadinya hanya dijual curah menjadi produk unik dan memiliki nilai tambah yang besar secara ekonomi.

Akhirnya Andris menoleh pada nasi liwet yang banyak dijajakan di rumah makan di Garut. Ia pun mulai mengembangkan makanan nasi liwet, namun menganut konsep mie instan. Maka terciptalah Liwet Instan 1001 dengan berbagai varian rasa untuk menyasar para wisatawan yang berkunjung ke Garut. “Eksperimen dilakukan awal Januari 2011. Setelah 6 bulan barulah diluncurkan sebanyak 3 varian isi 500 gram, yakni rasa jengkol, jambal, dan pete sebagai khas makanan Sunda,” sebut dia.

Pertama diperkenalkan memang respons konsumen kurang baik, bahkan ketika ditawarkan ke sejumlah toko oleh-oleh di Garut, banyak yang menolak. Tak patah arang, Andris pun memberikan sampel ke toko-toko tersebut. Bahkan ketika pergi ke mana saja, ia selalu membawa rice cooker untuk mempromosikan nasi liwet instannya kepada orang-orang yang ditemui.

Tak hanya kolega dan rekan bisnisnya, Andris pun mencoba mendatangi kantor-kantor pemerintahan untuk mempromosikan Liwet Instan 1001 dan tujuannya mengangkat nama beras Garut. Gayung bersambut, ia pun diundang Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian untuk mengikuti pameran di Gasibu, Bandung. 

Setelah mengikuti beberapa pameran, permintaan Liwet Instan 1001 mulai berdatangan, bahkan pemilik toko oleh-oleh yang dulu menolak mendatangi Andris, minta supaya tokonya dipasok. “Dari ketiga varian yang diluncurkan, varian jambal yang paling laku. Guna memenuhi tuntutan konsumen, kami mengeluarkan liwet instan ukuran 250 gram dan menambah empat rasa baru yakni original, pedas, cumi, dan teri,” imbuh dia.

Agar produknya dikenal luas, Andris pun mulai melirik ke pasar ritel modern. Pertimbangannya, toko oleh-oleh hanya dikunjungi bila wisatawan datang ke Garut saja. Harapannya setelah mengonsumsi liwet instan, konsumen—baik wisatawan yang datang ke Garut maupun pembeli di ritel modern—bisa merasakan keunggulan beras Garut. Dengan begitu ketika membeli kebutuhan di pasar-pasar induk, mereka akan mencari beras dengan karung-karung merek asal Garut.

Sukses memasarkan Liwet Instan 1001, bisnis Andris kian menggurita dengan mengeluarkan produk lain yang meliputi beras Aromatic 1001, Nasi Uduk Warna 1001, Cireng Raosana 1001. Selain memberikan manfaat bagi lingkungan dan mengangkat nama beras asal Garut, usaha Andris juga meraih omzet yang cukup fantastis. Kabarnya mencapai puluhan miliar rupiah per tahun.

“Untuk lebih memudahkan konsumen, kami terus melakukan inovasi produk. Khusus produk liwet instan sedang dipersiapkan terobosan baru. Jika sebelumnya cara mengolah harus dimasak dengan rice cooker, tahun depan akan hadir liwet instan yang tinggal diseduh air panas sehingga lebih praktis,” beber Andris.

Masuk Bisnis Restoran

Ekspansi bisnis 1001 tak berhenti pada makanan olahan saja. Andris terus mencari peluang pasar yang unik dan berbeda sesuai dengan filosofi merek 1001. Terinspirasi dari kegemaran Andris dan istri mengonsumsi makanan shabu-shabu dan sukiyaki, ia pun memutuskan masuk ke bisnis restoran shabu-shabu dan sukiyaki versi Sunda dengan nama “d’Anclom”, yang dalam bahasa Indonesia berarti “dicelup”.

Bila shabu-shabu dan sukiyaki cara masaknya direbus dan dicelup, kafe d’Anclom juga menyuguhkan makanan yang tak lepas dari kuah (celupan). Namun, menu andalannya berupa makanan khas Sunda seperti seblak dan olahan aci, meliputi aci ngambay (cibay), aci gemol (cimol), aci goreng (cireng), hingga bakso aci.

Selain menu yang unik, nama makanannya pun unik, yakni Tigeulebuh (jatuh di air), Titeuleum (tenggelam), Tigeujebur (terperosok), dan banyak lagi. Tak sebatas makanan tradisional Sunda, d’Anclom juga menambahkan menu makanan modern berupa steak, pizza aneka buah, ayam bulgogi, tom yam, hingga bitter bullen atau sejenis perkedel dengan berbagai rasa. “Segmen yang dibidik d’Anclom adalah kalangan muda dan keluarga, termasuk para wisatawan yang berkunjung ke Garut.


Untuk mempromosikan d’Anclom, Andris memiliki berbagai cara. Di antaranya menjadikan restorannya sebagai lokasi prewedding. Apalagi restorannya didesain layaknya bangunan kuno Belanda, sehingga menarik para calon pengantin. Promosi lainnya yaitu mengadakan kontes foto restoran di media sosial untuk menciptakan pemasaran getok tular. (Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi)

Raih Fulus dari Gurihnya Bisnis Rendang Telur


Melalui ide-ide baru yang original dan tidak biasa, Zulfayetri mampu membuat rendang berbahan baku telur yang mampu bertahan lama. Dari modifikasi ini pula ia meraup omzet ratusan juta rupiah dan diganjar banyak penghargaan di bidang inovasi.

Inovasi dan kreativitas adalah faktor yang perlu dimiliki dan dikembangkan dalam diri pelaku wirausaha untuk mengembangkan produk atau jasa yang menyesuaikan kebutuhan konsumen. Kedua faktor inilah yang menjadi konsen Zulfayetri ketika memulai bisnis rendang telur Kokoci 10 tahun silam.

Zulfayetri mengatakan, sebenarnya dari dulu sudah ada rendang telur tapi potongannya masih sebesar tahu dan hanya mampu bertahan selama tiga hari. Dari situ timbul ide untuk melakukan inovasi dengan memproses rendang telur supaya lebih tahan lama.

“Proses produksi rendang telur diubah dengan membuat adonan tipis-tipis, dengan potongan lebih kecil tanpa menghilangkan ciri khas makanan Minang. Tapi, dapat bertahan lebih lama dari yang tadinya tiga hari kini bisa bertahan selama satu tahun,” ungkapnya.

Masuk ke bisnis rendang telur diceritakan pria yang akrab disapa Zul ini berawal dari banyaknya telur retak dari peternakan ayam miliknya dan peternak lainnya yang terletak di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Estimasinya ada sekitar 2% telur retak dan pecah dari total telur yang dihasilkan sentra peternakan ayam tersebut.

“Biasanya telur yang retak dan pecah ini tidak diminati pembeli, kalaupun dijual harganya murah. Akhirnya telur-telur tersebut dibikin kue basah, namun jumlahnya terlalu banyak sehingga tidak bisa terserap semua. Dari situ timbul ide untuk mengelola limbahtelur ini menjadi produk makanan yang memiliki nilai tambah,” ucap penerima penghargaan Inovasi Manajemen Bisnis Produk Peternakan dan Inovasi Produk Tanaman Pangan 2013.

Zul memilih menjadikan telur-telur tersebut sebagai masakan rendang karena makanan ini khas Sumatera Barat yang sudah populer di Indonesia, bahkan hingga mancanegara. Bila lazimnya rendang menggunakan daging dan paru, ia memodifikasi menggunakan telur sebagai bahan bakunya sehingga menjadi rendang kering yang bisa disantap kapan saja.

“Modal awalnya 30 butir telur dan uang sebesar Rp50.000. Rendang yang dihasilkan tidak memakai bahan pengawet. Tapi, bisa tahan lama lantaran minyak di rendang ditiriskan hingga kering,” ungkap Zul.

Strategi Pemasaran
Untuk memasarkan produk rendang telurnya, Zul menggunakan merek Kokoci, yang diambil dari nama salah satu nagari di Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat, yakni Koto Kaciak. Namun, nama ini juga bisa diartikan sebagai singkatan dari “koko dan cici atau dalam bahasa Minang, uda dan uni, atau panggilan untuk laki-laki dan perempuan yang merupakan segmen dari produk rendang telur ini.

Merek tersebut diharapkan mudah diingat, dan produk rendang telur Kokoci disukai oleh semua orang tidak hanya orang Minang saja,” ujar Zul yang tahun 2015 lalu menerima penghargaan Paramakarya.

Terkait pemasaran rendang telur Kokoci, Zul menerapkan beberapa strategi. Awalnya hanya dilakukan promosi mulut ke mulut (word of mouth) di lingkungan sekitarnya. Kemudian dia pun mengikuti beberapa pameran, salah satunya Pekan Raya Jakarta (PRJ) pada tahun 2006. Dalam pameran tersebut respons pengunjung cukup bagus, bahkan mendapatkan beberapa pesanan.

Seiring berjalannya waktu, rendang Kokoci pun makin dikenal masyarakat. Pada tahun 2007, merek Kokoci berhasil masuk toko oleh-oleh keripik Balado Christine Hakim. Bahkan sempat menembus Giant dan Hypermart walaupun dari sisi kemasan masih banyak kekurangan karena menggunakan bahan plastik.

“Di Giant hanya sekitar 1 tahunan, malahan untuk Hypermart tidak sampai 1 tahun karena masalah administrasi dan distribusi. Namun saat ini, konsumen bisa mendapatkan rendang Kokoci di Lottemart serta toko oleh-oleh dan toko kue dari Aceh hingga Surabaya. Di tahun ini kemungkinan akan masuk ke Carrefour dan Alfamart Palembang,” bebernya.

Melebar ke Makanan Camilan
Bila awalnya Kokoci hanya memproduksi rendang telur, kini jenis rendang yang ditawarkan pun bermacam-macam. Ada rendang daging, paru, belut, runtiah (daging suwir), ubi maco (singkong dan ikan teri), dan ada pula beberapa makanan camilan, seperti kentang balado, keripik balado, aneka umbi-umbian.

Rendang kering dibanderol mulai Rp20.000─Rp55.000 untuk setiap kemasan berisi sekitar 185 gram─200 gram. Sementara harga camilan dipatok mulai dari Rp15.000. “Saat ini ada 13 varian yang telah dipasarkan. Akan ada 4 varian yang dilepas ke pasar, yakni rendang ikan lele dan 3 makanan camilan,” sebut Zul.

Kontribusi penjualan rendang dan camilan saat ini bisa dibilang berimbang. Penjualan rendang terbesar berasal dari rendang telur sekitar 60%, sedangkan camilan yang paling laku adalah ubi ganepo dan keripik balado. Dari bisnis ini Zul bisa memperoleh omzet di atas Rp100 juta setiap bulannya.

Proses produksinya juga sudah mengalami perkembangan dengan mengacu pada standar nasional industri (SNI), GMP, dan ACCP sehingga rendang telur menjadi higienis dan lebih tahan lama. Namun begitu, proses memasak tradisional masih dipertahankan, yaitu penggunaan tungku dan kayu bakar agar cita rasa rendang yang dihasilkan lebih enak.

Meski rendang termasuk kuliner tradisional, Zul sangat memerhatikan kemasan untuk menjaga kualitas produk. Ia mengklaim produknya dengan kemasan plastik tebal dapat bertahan selama 3 bulan, sedangkan dengan kemasan kardus karton bisa bertahan selama 6 bulan, dan 1 tahun dengan kemasan kaleng komposit. “Kokoci merupakan satu-satunya produsen rendang yang menggunakan kaleng komposit,” jelasnya.

Sukses di bisnis rendang tidak membuat Zul berpuas diri. Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian IPB ini memiliki ambisi membuat restoran yang dilengkapi dengan toko oleh-oleh dan pabrik produksi berskala kecil untuk memberikan edukasi dan pengalaman dan pengunjung tentang pembuatan makanan khas Sumatera Barat, khususnya rendang. (Majalah MARKETING/Moh. Agus Mahribi)